Terungkap Duduk Perkara 3 Siswa Tinggal Kelas 3 Kali di Kaltara

Terungkap Duduk Perkara 3 Siswa Tinggal Kelas 3 Kali di Kaltara

Tim detikcom - detikNews
Sabtu, 27 Nov 2021 22:03 WIB
Lecture room or School empty classroom with Student taking exams, writing examination for studying lessons in high school thailand, interior of secondary education, whiteboard. educational concept
Ilustrasi di sekolah (Foto: iStock)
Jakarta -

Tiga siswa kakak-adik di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara) tinggal kelas tiga kali. Ironi itu terjadi karena ketiganya diduga menganut Saksi-saksi Yehuwa.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Itjen Kemendikbudristek) terjun ke Tarakan. Duduk perkara dari penyebab ketiga siswa tak naik kelas tiga kali berturut-turut ini pun terungkap.

Mereka bertiga adalah peserta didik di SDN 051 Kota Tarakan, Kaltara. Ketiga siswa merupakan kakak-adik, yakni M (14) kelas V SD, Y (13) kelas IV SD, dan YT (11) kelas II SD. Ketiganya mengalami nasib yang sama, sama-sama tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019; lalu tahun ajaran 2019/2020; dan tahun ajaran 2020/2021.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengungkapkan tim gabungan dari Itjen Kemendikbud, KPAI, dan unsur masyarakat sipil terjun langsung ke Tarakan untuk memantau kasus ini. Itjen Kemendikbud-Ristek juga membentuk tim gabungan untuk mencari solusi.

Mula-mula, tim berkunjung ke rumah orang tua ketiga anak tersebut untuk mendengar suara anak pada Senin (22/11). Ketiga siswa menyatakan ingin sekali naik kelas.

ADVERTISEMENT

"Ketika tim bertanya apa harapan atau keinginan ketiga anak, mereka menjawab 'hanya ingin naik kelas'. Saat ditanya apa lagi harapannya? Jawabannya kurang lebih sama, hanya ingin naik kelas. Ketiganya juga ingin tetap bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan. Ketiga anak menyatakan kehilangan semangat belajar jika nanti akan mengalami tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya," tutur Retno Listyarti, Sabtu (27/11/2021).

Selanjutnya, pada hari kedua, tim melakukan pengawasan ke sekolah (pihak teradu) untuk meminta klarifikasi maupun konfirmasi atas informasi yang tim terima dari pihak pengadu.

Sedangkan pada hari ketiga, tim melakukan FGD atau bisa juga disebut rapat koordinasi di kantor Wali Kota Tarakan untuk menyampaikan hasil temuan tim sekaligus mencari solusi bagi kepentingan terbaik untuk anak. Sayang, hasil FGD tidak terlalu memuaskan.

"Sayangnya, dalam FGD tersebut, solusi yang muncul dari beberapa SKPD justru belum berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak," tutur Retno.

Hanya, Retno mengatakan SKPD patut diapresiasi karena berpihak pada kepentingan anak. Terlebih, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Tarakan telah melakukan pendampingan psikologis terhadap ketiga anak korban dan orang tuanya.

Saat ini, ketiga anak tersebut sudah mendapatkan terapi psikologi sebanyak empat kali dari psikolog Himpsi Tarakan yang bekerja sama dengan Dinas PPPA. Anak-anak selalu diantar jemput oleh Dinas PPPA saat menjalani sesi terapi psikologi.

Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

Kemudian, Retno membeberkan alasan kenapa ketiga siswa itu tidak naik kelas 3 tahun berturut-turut. Tim pemantau mendapat informasi ketiga anak itu pindah agama dari Kristen Protestan ke Saksi Yehuwa pada 2018.

Secara kebetulan, tidak naik kelas pertama adalah pada tahun ajaran 2018/2019, ketiga anak sempat dikeluarkan dari sekolah selama sekitar 3 bulan lamanya. Alasan tidak naik pertama adalah absensi tidak memenuhi syarat, ada sekitar 90 hari ketiga anak dianggap tidak hadir tanpa keterangan. Padahal mereka tidak hadir karena sempat dikeluarkan dari sekolah selama 3 bulan.

"Keputusan Pengadilan TUN memenangkan gugatan atas nama ketiga anak tersebut, keputusan PTUN dalam kasus tidak naik kelas yang pertama kali ini sudah inkrah," ungkap Retno.

Duduk Perkara 3 Siswa Tak Naik Kelas 3 Kali

Pada tahun ajaran 2019/2020, ketiga anak itu kembali tidak naik kelas untuk kedua kalinya. Ketiga siswa ini tidak naik kelas karena mereka mendapat nilai 0 di mata pelajaran agama.

Mereka mendapat nilai nol karena ketiganya tidak mendapatkan pelajaran agama. Sekolah beralasan tidak ada guru agama untuk Saksi Yehuwa, padahal Saksi Yehuwa oleh Kementerian Agama dimasukkan dalam bagian pendidikan agama Kristen. Jadi, seharusnya ketiga anak berhak mendapatkan pendidikan agama Kristen di sekolahnya.

"Keputusan Pengadilan TUN pada tingkat pertama dimenangkan oleh ketiga anak tersebut, namun Dinas Pendidikan Kota Tarakan banding dan memenangkan pengadilan banding. Pihak penggugat kemudian melakukan kasasi dan keputusan kasasi belum ada. Artinya belum inkrah hingga November 2021," papar Retno.

Sementara itu, kasus tidak naik kelas yang ketiga kalinya terjadi pada tahun ajaran 2020/2021. Mereka tidak naik kelas karena nilai agama yang tidak tuntas, walau nilai seluruh mata pelajaran yang lain sangat bagus.

Temuan tim gabungan, ketiga anak mengaku mengikuti semua proses pembelajaran pendidikan agama Kristen di sekolahnya. Mereka selalu mengerjakan semua tugas yang diberikan, termasuk ujiannya.

Bahkan nilai-nilai pengetahuannya selalu tinggi nilainya. Namun, saat nilai praktik, ketiga anak tidak bersedia menyanyikan lagu rohani yang ditentukan gurunya karena bertentangan dengan akidahnya, dan meminta bisa mengganti lagu yang sesuai dengan akidahnya.

"Kasus tidak naik kelas yang ketiga kalinya juga digugat ke Pengadilan TUN, pengajuan perkara baru dilakukan pada Oktober 2021. Saat ini masih dalam proses persidangan," jelas Retno.

Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

Nilai-nilai pengetahuan ketiga siswa yang sering mendapat 100 pun terbukti saat tim melakukan wawancara dengan guru pendidikan agama Kristen yang diperbantukan di SDN 051 Tarakan, Dh. Guru PJOK yang juga menjadi pembina agama Kristen, Ibu D, turut mengakui itu.

"Ketika tim bertanya pendapat Dh selalu guru ketiga anak korban, dijawab anak-anak itu pintar, bahkan nilai-nilai pengetahuan sering mendapat 100 (nilai sempurna). Selain itu, ketiga anak korban juga berkelakuan baik dan sopan. Hal senada dikemukakan oleh Ibu D selaku pembina agama Kristen," ucap Retno.

Saat pengawasan di sekolah, ada beberapa usulan untuk solusi, di antaranya usulan dari Kepala LPMP Kalimantan Utara Jarwoko yang mengusulkan ketiga anak tetap diberikan pembelajaran agama dari guru agama Kristen, namun hanya aspek kognitif/pengetahuan dan aspek afektif/sikap.

Sedangkan aspek psikomotorik/praktik/keterampilan diserahkan kepada komunitas agama ketiga anak tersebut agar tidak ada lagi perdebatan soal akidah.

Selain itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan juga mengusulkan ketiga anak dinaikkan kelas. Namun, untuk keputusan yang tidak naik kelas yang ketiga, anak-anak harus mengikuti remedial terlebih dahulu untuk nilai yang tidak tuntas, yaitu nilai pendidikan agama saja, mengingat nilai mata pelajaran lain tuntas bahkan dengan nilai tinggi.

Bagaimanapun juga, Retno mengatakan usulan Kepala LPMP Kaltara dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan justru menjadi tidak jelas penyelesaiannya saat FGD berlangsung pada Rabu (24/11) di kantor Wali Kota Tarakan. Pasalnya, para perwakilan SKPD yang hadir justru memiliki argumentasi yang mementahkan kedua rencana tersebut.

Usulan Hasil Cek Lapangan

Alhasil, Retno menyebut usulan yang ditawarkan sangat tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Berikut usulan dari FGD tim gabungan yang dimaksud Retno:

1. Kenaikan kelas bisa dilakukan jika ada surat rekomendasi dari Itjen Kemendikbud-Ristek yang memerintahkan agar sekolah menaikkan kelas ketiga anak korban. Padahal, kenaikan kelas merupakan kewenangan sekolah dan dewan guru.

Itjen Kemendikbud-Ristek dan KPAI tidak memiliki kewenangan menentukan naik kelas/tidaknya peserta didik. Selain itu, usulan kenaikan kelas justru dikemukakan sendiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan saat Tim gabungan pengawasan ke sekolah;

2. Kenaikan kelas dapat dilakukan dengan syarat tertentu, di antaranya cabut gugatan. Padahal pencabutan gugatan maupun rencana remedial untuk kenaikan kelas dapat dilakukan pihak sekolah dengan duduk bareng bersama pihak orang tua peserta didik dapat dibicarakan secara kekeluargaan, pendekatan untuk mencairkan suasana harus dilakukan semua pihak, bicara kepentingan terbaik bagi anak harus dengan nurani dan perspektif perlindungan anak;

3. Usulan perwakilan Inspektorat Tarakan menyatakan bahwa akar masalahnya adalah di keputusan Kementerian Agama yang memasukkan Saksi Yehuwa ke dalam pendidikan agama Kristen. Jadi yang bersangkutan mengusulkan agar Kemendikbud-Ristek dan KPAI bersurat kepada Kementerian Agama untuk mencabut keputusan tersebut, dan jika ingin Saksi Yehuwa diakomodasi, maka diminta Kemendikbud dan KPAI bersurat pada Presiden agar mengusulkan Saksi Yehuwa menjadi agama resmi negara yang ke-7.

Padahal semua usulan tersebut jelas bukan kewenangan Kemendikbud maupun KPAI. Usulan ini pun jelas menunjukkan bahwa penyelesaian masalah kakak-adik yang tidak naik kelas tiga kali sama sekali bukan didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak.

Retno menyayangkan penyelesaian kasus tiga siswa yang belum berpihak pada kepentingan anak ini. Dia pun meminta semua pihak memikirkan nasib ketiga anak ini.

"Oleh karena itu, sejatinya para pihak dalam mengambil keputusan harus mengedepankan kepentingan terbaik bagi ketiganya anak demi masa depan mereka yang masih panjang," pungkas Retno.

Halaman 2 dari 3
(drg/jbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads