Permasalahan waris kerap mendatangkan masalah, terutama soal pembagiannya. Salah satunya dialami oleh pembaca detik's Advocate.
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate yang dikirim ke e-mail: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com Berikut pertanyaan lengkapnya:
Saya ingin bertanya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mama kandung saya sudah meninggal. Meninggalkan suami dengan 5 anak perempuan kandung. Ortu kedua belah pihak papa dan mama saya sudah meninggal semua dan saudara laki-laki dari pihak papa kandung saya sudah meninggal semua.
Papa saya menikah lagi dengan seorang janda dengan 2 anak perempuan (bukan anak kandung papa saya). Mereka menikah dengan masing-masing membawa harta dan sebelum menikah bikin surat perjanjian pranikah.
Ibu tiri saya menuntut untuk dibagikan harta bawaan papa kandung dengan mama kandung saya (atas nama mama kandung saya, ahli warisnya adalah suami dan 5 anak perempuan kandung). Sesudah dibikin sertifikat atas nama papa saya plus 5 anak perempuan kandung.
Menurut hukum Islam, apakah ibu tiri saya berhak dapatkan harta bawaan papa kandung dan mama kandung saya?
Untuk menjawab masalah di atas, tim detik's Advocate meminta pendapat hukum advokat Wilson Pompana, S.H. Berikut jawaban lengkapnya:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Bahwa hukum perkawinan atau segala urusan yang berkaitan dengan perkawinan bagi orang yang beragama Islam, termasuk hal-hal yang mengatur tentang harta dalam perkawinan, baik itu harta yang diperoleh dalam perkawinan maupun harta bawaan masing-masing suami dan isteri, seluruhnya tunduk pada Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam berikut ini :
Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam:
Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa perkawinan tidak serta merta menimbulkan percampuran harta masing-masing suami dan istri. Namun, pada ketentuan lainnya memungkinkan terjadinya percampuran harta masing-masing suami dan istri. Hal tersebut terjadi apabila pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, disepakati perjanjian perkawinan tentang percampuran harta suami dan istri (calon mempelai) yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Perjanjian percampuran harta pribadi tersebut dapat meliputi semua harta, baik itu harta yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Hal tersebut sebagaimana ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang menentukan sebagai berikut :
Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam:
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
Pasal 49 Kompilasi Hukum Islam:
Percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 50 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan :
Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas dan kronologi yang Anda sampaikan, di mana sebelum perkawinan antara ayah Anda dengan ibu tiri Anda telah dibuat perjanjian pranikah, perihal apakah ibu tiri Anda berhak mendapatkan harta bawaan dari ayah dan ibu kandung, sangatlah bergantung dari isi perjanjian pranikah yang dibuat antara ayah dengan ibu tiri Anda atas harta bawaan miliknya (terbatas harta miliknya), dengan ketentuan perjanjian pranikah tersebut telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah ketika perkawinan berlangsung.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Wilson Pompana, S.H.
Advokat
LBH Mawar Saron
Dasar Hukum:
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.