Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan setelah lebih dari 17 tahun, yaitu sejak tahun 2004, MPR melaksanakan sosialisasi Empat Pilar MPR RI dan segala putusan MPR. Kini sudah saatnya MPR masa jabatan 2019-2024 melakukan evaluasi menyeluruh atas metode sosialisasi yang digunakan.
Hal tersebut dilakukan untuk menjawab pertanyaan besar, apakah upaya membumikan Empat Pilar MPR RI yang terdiri dari Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika, telah berhasil membangun peradaban bangsa yang unggul?
"Masih segar dalam ingatan kita, beberapa hari yang lalu Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan sekaligus penyesalannya karena sampai saat ini masih banyak anak bangsa yang masih bermental 'inlander' dan bersikap 'inferior' ketika berhadapan dengan bangsa lain," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Kamis (18/11/2021).
"Jauh sebelumnya, sudah tidak terhitung berapa kali Presiden Soekarno dalam berbagai pidatonya yang khas menggelegar dan bergemuruh, mengingatkan agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi 'bangsa kuli' dan menjadi 'kuli bangsa-bangsa lain'," imbuh Bamsoet.
Hal itu diucapkan Bamsoet saat melantik beberapa anggota MPR RI dalam pergantian antar waktu (PAW), di Komplek Majelis hari ini.
Ketua DPR RI ke-20 ini mengingatkan para anggota MPR RI, bahwa peringatan Bung Karno dan pernyataan Presiden Jokowi tersebut harus dijadikan sebagai bagian introspeksi dalam melaksanakan sosialisasi Empat Pilar MPR RI.
Metode sosialisasi Empat Pilar yang dilaksanakan ke depan harus mampu membangun karakter masyarakat dan sistem sosial yang berakar pada nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri yang bersifat khas, unik, modern, dan unggul.
"Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang. Para pemerhati Indonesia mengilustrasikan Indonesia sebagai gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Di masa lalu bangsa ini diakui pernah memiliki peradaban tinggi dengan penguasaan teknologi yang tinggi pada zamannya," ujarnya.
"Tanpa penguasaan teknologi yang tinggi, rasanya mustahil anak-anak bangsa pada zaman Kerajaan Syailendra (abad ke-7) mampu membangun Candi Borobudur. Demikian juga dengan Kerajaan Majapahit (abad ke-14) yang dapat menguasai wilayah yang sekarang disebut Indonesia beserta hampir seluruh semenanjung Malaya," tutur Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menuturkan peradaban bangsa Indonesia pernah juga mengalami keterpurukan akibat penjajahan ratusan tahun, sehingga mengalami apa yang disebut 'hegemoni peradaban kolonialisme' yang membentuk mental inlander dan sikap inferior.
Hal ini ditunjukkan dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju, serta tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar.
"Indonesia dengan potensi sumber daya alam yang melimpah justru tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan dan obat-obatan secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal mengimpor dengan harga murah, harus diakhiri," ujarnya.
"Karena terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumber daya kita. Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan," jelas Bamsoet.
Klik halaman selanjutnya >>>
(ncm/ega)