Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan sejumlah upaya dalam pemberantasan korupsi, di antaranya memenjarakan koruptor hingga merampas asetnya untuk mengembalikan keuangan negara. Namun Burhanuddin menilai hal itu tak cukup untuk memberikan efek jera, sehingga dia mengkaji hukuman mati bagi koruptor.
Burhanuddin mengatakan Kejaksaan telah melakukan berbagai cara untuk dapat menciptakan efek jera bagi koruptor. Di antaranya dengan menjatuhkan tuntutan yang berat sesuai dengan tingkat kejahatannya.
Upaya kedua, mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money, dan follow the aset, serta memiskinkan koruptor dengan melakukan perampasan aset koruptor melalui aset recovery atau pemulihan kerugian negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga penegakan hukum tidak sekadar pemidanaan badan, tetapi juga sebagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal," kata Burhanuddin dalam webminar yang digelar Unsoed secara virtual, Kamis (18/11/2021).
Selain itu, jaksa telah menerapkan pemberian Justice Collaborator secara selektif untuk menemukan pelaku yang lain. Kemudian, jaksa juga melakukan gugatan perdata terhadap pelaku yang meninggal dunia atau diputus bebas, namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negaranya.
Meski sejumlah upaya telah dilakukan dalam pemberantasan korupsi, Burhanuddin menilai hal tersebut belum efektif memberikan efek jera dan mengurangi kasus korupsi.
"Upaya-upaya tersebut ternyata belum cukup untuk mengurangi kuantitas kejahatan korupsi. Oleh karena itu, kejaksaan merasa perlu melakukan terobosan-terobosan hukum dengan menerapkan hukuman mati," ujarnya.
Burhanuddin menilai terobosan hukuman penerapan pidana mati dinilai perlu didalami secara bersama. Burhanuddin menilai pemberantasan korupsi dinilai cukup memberikan efek jera bagi terpidana mantan koruptor untuk tidak mengulangi perbuatannya, tetapi di sisi lain tidak membuat kasus korupsi yang dilakukan pelaku lainnya berkurang.
Justru Burhanuddin menilai saat ini korupsi makin menggurita dan sistemik. Oleh karenanya, Jaksa Agung menilai perlunya pemberian efek jera bagi koruptor yang lebih tegas dan keras.
"Keberhasilan memberikan efek jera bagi koruptor ini ternyata di satu sisi tidak berdampak bagi masyarakat. Hal ini terbukti dari fenomena korupsi di Indonesia saat ini justru semakin menggurita, akut dan sistemik, serta menjadi 'pandemi hukum' yang telah masuk ke setiap lapisan masyarakat," ujarnya.
"Efek jera harus dimaknai sebagai upaya preventif yang dapat membuat setiap orang takut melihat akibat yang terjadi apabila dan akan melakukan suatu perbuatan korupsi. Ancaman penjeraan terberat dari perbuatan korupsi adalah hukuman mati," ungkapnya.
Ia menilai peraturan sanksi pidana bukan hanya semata-mata ditujukan kepada pelaku kejahatan, tetapi juga mempengaruhi norma masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.