Saat Permendikbud PPKS Bikin Prof Harkristuti Vs Prof Romli Beda Pendapat

Andi Saputra - detikNews
Senin, 15 Nov 2021 14:51 WIB
Prof Harkristuti Harkrisnowo
Jakarta -

Di dunia hukum, Prof Harkristuti Harkrisnowo dan Prof Romli Atmasasmita merupakan sama-sama pakar di bidang pidana. Namun dalam menanggapi Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, keduanya berselisih pendapat. Prof Harkristuti mendukung, Prof Romli memberi catatan serius.

Kedua pakar hukum pidana itu sering seiring sejalan dalam konsep ilmu hukum pidana. Keduanya sama-sama tim ahli yang membidani RUU KUHP. Keduanya juga pernah menjadi Dirjen di Kemenkumham. Namun, untuk Permendikbud, keduanya kali ini berbeda pendapat.

Salah satu yang membelah pendapat kedua guru besar itu adalah klausul 'tanpa persetujuan korban'. Berikut contoh isi pasal 5 yang dimaksud:

1. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
2. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
3. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
4. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

Nah, Prof Har-demikian Prof Harkristuti biasa disapa- menilai tidak ada masalah dengan frase 'persetujuan korban' itu.

"Kekerasan/paksaan adalah perbuatan yang dilakukan tanpa persetujuan korban. Kalau kata 'persetujuan' dihapus, bagaimana memaknai kekerasan? Menurutku, aneh dong kalau ada kekerasan tapi 'dengan persetujuan'.... Lihat saja dari sisi bahasa dan penalaran," kata Harkristuti pada 10 November 2021.

Beda dengan Guru Besar dan Ketua Dewan Guru Besar UI itu, Prof Romli memilih menilai 'persetujuan korban' berbeda. Di mata guru besar Universitas Padjadjaran, frase 'persetujuan korban' malah membuat hilangnya ketidakpastian hukum.

"Maksud baik pemerintah khusus Kemendikud telah dinodai oleh penyusun peraturan tersebut dengan memasukkan frasa 'dengan persetujuan perempuan', objek yang seharusnya terlindungi peraturan tersebut," kata Prof Romli dalam siaran pers yang didapat detikcom, Senin (15/11/2021).

Romli Atmasasmita Foto: Romli Atmasasmita (Foto: Ari Saputra/detikcom)

"Dimasukkannya frasa tersebut terlepas dari niat baik atau tidak, tetap patut disesalkan karena frasa tersebut yang semula memberikan kepastian akan jaminan perlindungan kaum perempuan dan orang tuanya menjadi kontra produktif," sambung Prof Romli menegaskan.

Lebih jauh, Prof Romli menilai Permendikbud tersebut bernuansa kampus liberal dan mengindahkan nilai-nilai Pancasila. Perbedaan kehidupan dan perilaku berkampus bersumber pada sejarah kehidupan masyarakt liberal (paham individualisme-liberalisme). Di mana negara tidak berhak turut campur atas kehidupan setiap orang kecuali dengan tujuan mencegah dan melindungi dari perbuatan orang lain yang merugikan.

"Jika dihubungkan dengan Permendikbud 30 menjadi sah saja akan tetapi jika dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang bersumber pada Pancasila sebagai satu-satunya sumber hukum nasional, terkait frasa 'dengan persetujuan', menjadi bertentangan secara diametral dengan budaya kolektivitas khas masyarakat Indonesia," cetus Romli menegaskan.

Simak video 'Permendikbud PPKS, Polemik soal Kekerasan Seksual di Kampus':






(asp/mae)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork