Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menyatakan sikapnya atas wacana Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin. Wacana tersebut adalah hukuman mati untuk koruptor kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) dan kasus Jiwasraya.
Sebagaimana diberitakan detikcom, St Burhanuddin menyatakan wacana hukuman mati untuk koruptor itu didasari niat untuk memberikan rasa keadilan. Wacana itu dilemparkan ke publik bersamaan dengan kemungkinan konstruksi pengupayaan rampasan dari kasus korupsi supaya bermanfaat bagi publik. Terutama pada PT ASABRI terkait dengan hak-hak seluruh prajurit untuk masa pensiun dan untuk masa depan keluarga mereka di hari tua.
"Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud, tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan Hukum Positif yang berlaku serta nilai-nilai hak asasi manusia," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan pers tertulis, 28 Oktober lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PB PMII menanggapi
PB PMII lewat Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Hasnu, menyoroti wacana dari Jaksa Agung St Burhanuddin itu.
"Hukuman mati bagi koruptor bukan opsi yang paling tepat jika tanpa dibarengi dengan keadaan tertentu. Mencermati status kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri sebagai BUMN yang tersandung korupsi ini negara tidak dalam keadaan krisis ekonomi dan darurat militer, melainkan negara dalam keadaan stabil, maka logika hukumnya kurang tepat," ujar Hasnu dalam keterangan tertulis PB PMII yang diterima detikcom, Selasa (9/11/2021).
Alih-alih mengusahakan hukuman mati untuk koruptor yang sebenarnya sudah ada di undang-undang, lebih baik Jaksa Agung memperbaiki sistem penegakan hukum yang belum maksimal. Itu justru lebih relevan dan urgen. Menurut dia, hukuman mati bukan pilihan yang tepat menuju Indonesia bersih. Soalnya, ada nilai-nilai hak asasi manusia seperti hak hidup yang harus dijamin oleh negara, bukan dengan menghukum mati para koruptor.
Secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati sudah diatur. Pasal 2 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 mengamanatkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang dimaksud keadaan tertentu adalah korupsi pada saat negara dalam bahaya, bencana alam, atau saat negara dalam krisis ekonomi dan militer.
"Kalau misalkan penegak hukum mau serius, mestinya paling relevan jika wacana hukuman mati ini berlaku untuk kasus korupsi Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial," tegas Hasnu.
(dnu/dnu)