Jaksa Agung ST Burhanuddin tengah mengkaji penerapan hukuman mati untuk koruptor. Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, menilai penegak hukum lebih baik mengejar pengembalian kerugian keuangan negara dan memiskinkan koruptor.
Zaenur menjelaskan pengejaran aset dan pemiskinan koruptor lebih baik daripada mengumbar wacana hukuman mati. Walaupun dalam undang-undang memang ada ketentuan untuk menghukum mati koruptor. Hanya saja, ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi.
"Penerapan pidana mati perlu melihat instrumen Pasal 2 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidana mati dapat diancam pada pelaku tindak pidana korupsi sebagai pemberatan dengan persyaratan," ujar Zaenur kepada wartawan, Senin (1/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama, korupsi terjadi dalam situasi bencana alam nasional. Kedua, dilakukan residivis atau pengulangan tindak pidana. Ketiga, dalam kondisi krisis ekonomi atau krisis keuangan," tambahnya.
Secara prinsip, kata Zaenur, Pukat mendukung upaya para penegak hukum termasuk kejaksaan untuk memberi perhatian lebih terhadap kasus-kasus mega korupsi seperti Jiwasraya dan Asabri ini. Tapi ia menilai lebih baik penegak hukum fokus untuk mengembalikan kerugian keuangan negara.
"Menurut saya, energi yang dimiliki, sumber daya yang dimiliki itu lebih baik difokuskan untuk secara optimal dapat mengembalikan kerugian keuangan negara daripada misalnya membuat satu isu baru yang isu tersebut masih sangat dipertanyakan akan dilaksanakan atau tidak," jelasnya.
Apa yang dia katakan berdasarkan pengalaman penangan kasus korupsi sebelumnya. Zaenur menyinggung hukuman bagi eks Mensos Juliari Batubara yang hanya dihukum penjara.
"Dulu juga ada ketua KPK pernah mengatakan akan menuntut mati siapa yang korupsi Bansos, tetapi eks Menteri Juliari hanya dituntut 11 tahun oleh KPK sehingga itu menjadi lip service tanpa ada realisasi," sebutnya.
Usul Pukat: Koruptor dimiskinkan!