Polemik Ataturk, Yusril Tagih 'Jl Ali Sadikin' ke Anies-Ungkit Dukungan Umat

ADVERTISEMENT

Polemik Ataturk, Yusril Tagih 'Jl Ali Sadikin' ke Anies-Ungkit Dukungan Umat

Tim detikcom - detikNews
Kamis, 21 Okt 2021 15:24 WIB
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Maruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019). Abu Bakar Baasyir akan dibebaskan dengan alasan kemanusiaan karena usia yang sudah tua dan dalam keadaan sakit serta memerlukan perawatan. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/pras.
Yusril Ihza Mahendra (Dok.detikcom)
Jakarta -

Polemik rencana menamai jalanan di Jakarta jadi Jalan Mustafa Kemal Ataturk belum menemui solusi. Seiring kontroversi rencana ini, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyoroti sejumlah rencana penggantian nama jalanan di Jakarta, bukan semata soal Ataturk.

Untuk diketahui, rencana penamaan Jalan Ataturk di Jakarta berawal dari permintaan Pemerintah RI agar nama jalan di dekat KBRI Ankara diganti dengan nama Jalan Sukarno, proklamator dan Presiden RI. Permintaan itu dikabulkan pemerintah Turki. Sebagai balasannya, pemerintah Turki juga meminta hal yang sama agar ada jalan namanya Kemal Ataturk, tidak jauh-jauh dari Kedutaan Turki di Jalan Rasuna Said, Jakarta.

Dalam keterangannya, Kamis (21/10/2021), Yusril menyebut Mustafa Kemal Pasya atau Kemal Ataturk adalah tokoh kontroversial bukan hanya di Turki pada zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri muslim yang lain. Kemal adalah pemimpin militer Turki yang mengambil alih kekuasaan kekhalifahan di negaranya dan membubarkannya. Dia membentuk sebuah Republik bercorak sekuler. Kekhalifahan Turki yang berdiri sejak zaman Osmaniyah dan dianggap simbol pemerintahan Islam dia bubarkan. Kemal 'memisahkan' antara agama (Islam) dan negara.

"Ketika Kemal mengambil alih kekuasaan, Kekhalifahan Turki memang sedang redup. Turki yang bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I mengalami kekalahan. Turki yang mulai lemah, baik dari segi militer maupun ekonomi dipaksa mengikuti kehendak Inggris dan sekutunya. Sementara Khalifah Turki tetap hidup glamor dan bermewah-mewah dalam suasana negara sedang terpuruk. Pembangunan Istana supermewah Tokhapi di Istambul, dilakukan di zaman Turki sedang terpuruk itu," kata Yusril.

Yusril menyebut kehidupan Sultan dan bangsawan Turki menuai kritik di dunia Islam sendiri karena dianggap jauh dari nilai-nilai Islam. Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Sukarno menjelang Indonesia merdeka--kata Yusril--mengatakan, dalam suasana seperti itu, tidak perlu lagi adanya pemisahan antara Islam dan negara, sebab dalam kenyataannya Islam memang sudah 'terpisah' dengan negara seperti ditunjukkan oleh perilaku pengusaha kekhalifahan Turki itu.

"Implikasi politik dari apa yang terjadi di Turki zaman itu gaungnya terasa di negeri kita. Kelompok 'Nasionalis Sekuler' merasa senang dengan kehadiran Ataturk. Sebaliknya, para tokoh 'Nasionalis Islam' berada dalam kecemasan. Tahun-tahun 1920-an itu di negara kita sedang terjadi polemik ideologis yang luas tentang Islam dan Nasionalisme dan masalah hubungan 'agama' dengan 'negara'," ujar Yusril.

"Polemik antara Sukarno dan Mohammad Natsir seperti telah saya singgung di atas, tentang hubungan agama pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di negeri kita, dilatarbelakangi oleh kebangkitan nasionalisme dan sekularisme di Turki. Perdebatan dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan 'de filosofische grondslag' (dasar falsafah negara) yang berujung kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, juga bertalian dengan hubungan antara Islam dengan negara pada sebuah negara modern," katanya.

Jika sekarang ini masih ada rasa ketidaksukaan sebagian masyarakat Indonesia terhadap Kemal Attaturk, Yusril menganggapnya wajar. Sebab, menurut dia, ketegangan pemikiran antara Islam dan sekularisme dengan berbagai variannya, dari yang moderat dan menerima Pancasila sampai yang ingin mendirikan kembali 'negara khilafah' hingga kini tetap berlangsung walau intensitasnya tidak sekeras menjelang kemerdekaan tahun 1945, menjelang Pemilu 1955 dan sidang Konstituante 1957 serta di masa awal Orde Baru tahun 1967.

Simak video 'Blak-blakan Dubes RI untuk Turki: Erdogan Tak Pernah Mencela Ataturk':

[Gambas:Video 20detik]



ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT