Anggota Komisi IV DPR Fraksi PKB Daniel Johan setuju dengan adanya pengajuan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkan larangan ekspor benih bening lobster (BBL). Menurut Daniel, larangan itu tidak efektif karena penyelundupan masih terjadi.
"Yang jadi masalah besar adalah penyelundupan tetap berjalan bahkan masif terjadi meskipun pelarangan telah diberlakukan, jadi faktanya pelarangan tidak sanggup menghambat penyelundupan, sehingga pelarangan ini memang tidak memiliki dasar yang kuat baik secara UU dan peraturan, akademik, maupun fakta ekonomi," kata Daniel kepada wartawan, Senin (18/10/2021).
Ketua DPP PKB ini juga sepakat dengan Yusril yang menilai adanya cacat hukum dalam peraturan pelarangan ekspor benur itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara UU dan peraturan sudah dijelaskan Pak Yusril selain permen ini cacat proses karena ditetapkan tanpa melibatkan stakeholder dan akademisi yang kompeten," ujar Daniel.
Padahal, menurutnya, benih lobster di Indonesia sangat melimpah meski hanya sekitar 0,01% yang hidup. Daniel mengatakan, jika tidak dimanfaatkan, benih lobster itu akan habis secara sia-sia.
"Secara akademik, BBL memang melimpah sesuai hasil kajian KKP sendiri serta kelangsungan hidupnya di alam yang sangat rendah, dari ratusan miliar yang ada di perairan Indonesia hanya 0,01% yang sanggup survive. Betapa banyaknya kerugian Indonesia dan jika tidak dimanfaatkan akan habis dan mati sia-sia," ujarnya.
Daniel juga mengatakan benih lobster itu berpotensi menggerakkan perekonomian rakyat. Terlebih kondisi negara yang tengah sulit.
"Secara ekonomi BBL mampu menggerakkan perekonomian rakyat dan negara, Vietnam hanya butuh dan mampu menebar BBL maksimal 300 juta ekor per tahun. Jika Indonesia mengisi ini nilai devisanya lumayan. Apa lagi kondisi negara sulit saat ini," ujarnya.
"Belum lagi nilai ekonomi yang hilang bagi nelayan bila dilarang. Jika ekspor dibolehkan, setiap nelayan setidaknya dapat 5.000 per ekor. Coba kalikan dengan 300 juta ekor. Sejak pelarangan, nelayan kehilangan ini. Sementara kebutuhan atau kemampuan budidaya dalam negeri sangat rendah hanya 15 juta ekor pun tidak habis," lanjut Daniel.
Daniel menyebut sempat mendorong adanya kebijakan transisi agar Vietnam mengalihkan budi dayanya ke Indonesia.
"Karena itu saya sempat dorong agar dibuat kebijakan transisi sekian tahun untuk memperingati pihak Vietnam mengalihkan budi dayanya ke Indonesia, agar terjadi alih teknologi sekaligus belajar efisiensi biaya produksi, kelemahan Indonesia hanya di logistik karena Jakarta-China bisa mencapai 100 ribu/kg, sementara Vietnam-China pakai truk hanya 5 ribuan per kg," ucapnya.
Lebih lanjut, Daniel pun lantas mengulas arahan Jokowi terkait budi daya lobster. Dia menilai permen yang dikeluarkan KKP tidak sesuai dengan arahan Jokowi.
"Jadi apa yang diarahkan presiden Jokowi sudah sangat tepat: 'Silakan dibuat kebijakan tentang lobster, yang penting: nelayan/pembudi daya dapat hasil, lingkungan tidak rusak, dan negara dapat manfaat'. Dan sayangnya permen pelarangan yang ada saat ini gagal mencapai tujuan tersebut dan tidak sesuai dengan arahan Presiden di atas," ujarnya.
Simak terkait gugatan Yusril ke MA soal larangan ekspor lobster.
Simak juga Video: Polisi Gagalkan Penyelundupan Ribuan Benur untuk Ekspor di Sukabumi
Yusril Gugat ke MA Agar Larangan Ekspor Benur Dicabut
Sebelumnya, Yusril dkk mengajukan JR sebagai kuasa hukum PT Kreasi Bahari Mandiri dan beberapa nelayan kecil di Nusa Tenggara Barat (NTB). Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 yang ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KP) Sakti Wahyu Trenggono pada 24 Mei 2021.
"Pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan tidak berwenang melarang ekspor barang dan jasa, meskipun itu benih lobster," kata Yusril kepada wartawan, Senin (18/10).
Kewenangan melarang ekspor ikan, termasuk benih lobster yang dikategorikan juga sebagai ikan, sebelumnya memang menjadi kewenangan Menteri KP berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Tetapi dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikenal dengan sebutan omnibus law, kewenangan itu telah dicabut dan diambil alih langsung oleh Presiden. Hal yang sama sebelumnya juga telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Presiden, telah mengatur sendiri barang dan jasa apa saja yang boleh diekspor dan diimpor melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2021 untuk melaksanakan Omnibus Law.
"Dengan aturan ini, jelaslah Menteri KP telah bertindak di luar kewenangannya membuat peraturan yang melarang ekspor benih lobster. Tindakan di luar kewenangan seperti itu menimbulkan ketidakpastian hukum," ujarnya.
Selain masalah kewenangan, Yusril juga mendalilkan bahwa larangan ekspor benih lobster itu bertentangan dengan dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya serta UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Menteri KP, disebutnya, seharusnya lebih dulu menyatakan bahwa lobster adalah binatang langka atau jenis binatang yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990.
"Atas pertimbangan lobster adalah hewan langka yang dilindungi, baru dapat dilakukan pelarangan ekspor," kata Yusril.