Babak Baru Kasus 'Ayah Perkosa 3 Anak'

Round-Up

Babak Baru Kasus 'Ayah Perkosa 3 Anak'

Tim Detikcom - detikNews
Senin, 18 Okt 2021 22:03 WIB
Poster
Ilustrasi (Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Kasus pria berinisial S, ayah yang diduga memperkosa 3 anaknya di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel), memasuki babak baru. Awalnya kasus itu dibuka lagi oleh kepolisian, tetapi pihak terlapor, yakni S, justru melaporkan balik mantan istrinya terkait tudingan pencemaran nama baik

S menuding ibu korban yang juga mantan istrinya telah melakukan pencemaran nama baik atas tuduhan pemerkosaan kepada 3 anaknya.

"Mantan suaminya itu membuat laporan pengaduan terhadap mantan istrinya ya. Karena dia ini merasa nama baiknya dicemarkan," kata Kabid Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan saat dihubungi detikcom, Senin (18/10/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zulpan menyatakan laporan polisi tersebut dibuat di Polda Sulsel pada Minggu (10/10) lalu. S sebagai terlapor pada kasus 'ayah perkosa tiga anak' itu menuding mantan istrinya berbohong sehingga melakukan tindak pidana seperti diatur dalam UU ITE.

"Laporkan istrinya karena viralnya kasus ini. Makanya dia mengadukan adanya tindak pidana pencemaran nama baik melalui UU ITE. Karena kan di situ yang diadukan istrinya itu mem-blow up persoalan ini melalui media sosial dan juga melibatkan LBH dan Project Multatuli," beber Zulpan.

ADVERTISEMENT

Zulpan juga mengatakan S sejauh ini hanya melaporkan mantan istrinya. Dia meluruskan tak ada pelaporan terhadap media massa yang memuat kasus 'ayah perkosa tiga anak' yang sempat viral beberapa waktu lalu.

"Yang dilaporkan ini mantan istrinya, dilaporkan karena mantan istrinya ini telah membuat berita luas ke masyarakat melalui media sosial sehingga merasa keberatan karena menyerang nama baik dan kehormatan yang bersangkutan," ungkap Zulpan.

"Karena isi berita yang disebarkan mantan istrinya, RA kepada masyarakat itu tidak benar dan juga kepada media tidak benar adanya sehingga dia melaporkan ke polisi dalam hal ini Polda Sulsel ya," katanya.

Terhadap dua laporan polisi yang ada, yakni pelaporan kasus 'ayah perkosa tiga anak' dan pelaporan pencemaran nama baik, Zulpan menyebut kepolisian akan memproses dua laporan polisi tersebut.

"Diproses dua-duanya, tinggal nanti dilihat mana yang benar gitu kan. Misalnya kasus dugaan pencabulan itu betul, kan laporan Pak S ini tidak benar," pungkas Zulpan.

Sejumlah pihak mengomentari pelaporan polisi yang diajukan terlapor, yakni ayah berinisial S. Selengkapnya di halaman berikutnya.

Komnas Perempuan Minta Polri Fokus 'Ayah Perkosa 3 Anak'

Komnas Perempuan meminta Polri mengutamakan penyelidikan kasus dugaan ayah memperkosa 3 anaknya di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan (Sulsel). Polri diminta mengesampingkan laporan balik terduga pelaku kepada ibu korban yang mengungkap kasus ini atas tuduhan pencemaran nama baik.

Sebelum memberikan rekomendasi kepada Polri agar fokus ke penyelidikan dugaan ayah memperkosa 3 anaknya, Komnas Perempuan menyoroti kembali penghentian kasus ini oleh Polres Lutim dan Polda Sulsel sebelum kasus ini viral. Komnas Perempuan menilai ada bukti-bukti yang disetorkan oleh ibu korban di awal kasus ini yang tidak dipertimbangkan oleh Polri.

"Termasuk di dalamnya, perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan seksual, di antaranya anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi, atau pekerja sosial," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, dalam konferensi pers, Senin (18/10/2021).

Siti melanjutkan seharusnya anak-anak yang diduga menjadi korban saat diperiksa polisi didampingi oleh ibunya atau setidaknya orang yang dipercaya oleh korban. Komnas Perempuan juga menyoroti bukti rekam medik dari dokter anak yang yang mengeluarkan diagnosis bahwa terjadi kerusakan pada jaringan anus dan vagina akibat kekerasan terhadap anak yang tidak dipertimbangkan untuk melanjutkan kasus ini.

"Komnas Perempuan juga mencermati adanya bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan. Dalam proses penyelidikan awal, dokter yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak kekerasan seksual tidak dimintai keterangan sebagai ahli," ucapnya.

"Demikian halnya assessment yang dilakukan P2TP2A Sulawesi Selatan di Makassar yang dalam laporan psikologisnya menyebutkan ketiga anak 'tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas' ketiganya secara konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya," tambahnya.

Menurut Siti, tidak optimalnya pengumpulan barang-barang bukti dan alat bukti menyebabkan keputusan penghentian penyelidikan tersebut dipertanyakan oleh ibu korban dan tim kuasa hukum. Dalam kasus ini, keterangan anak korban I, II, dan III karena usianya di bawah 15 tahun tidaklah disumpah.

"Sedangkan keterangan saksi dewasa yaitu ibu korban yang berdasarkan pemeriksaan psikiater saat diperiksa ditemukan gejala berupa waham yang merupakan bagian dari disabilitas mental, yang dengan sendirinya juga tidak dapat disumpah," ujarnya.

Selain itu, hasil visum et repertum (VeR) menjadi pertimbangan utama pembuktian tindak pidana, diikuti dengan visum et repertum psikiatrikum (VeRP). Menurutnya, hasil dari VeR dan VeRP dapat tergantung pada waktu dan metode yang dilakukan.

"Karenanya, VeR dan VeRP seharusnya dilakukan dalam tempo secepatnya. Bila terlambat beberapa hari atau dimintakan pemeriksaan ulang, hasil VeR dan VeRP bisa berbeda atau tidak relevan karena sesuai dengan kondisi saat VeR dan VeRP dilakukan," katanya.

Ada pemeriksaan VeR yang terlambat pelaksanaannya, luka fisik yang sebelumnya ada bisa jadi setelah beberapa hari sudah sembuh secara fisiologis atau karena sudah mendapatkan terapi. Jadi, hasil VeR bisa tidak sama bila dilakukan segera setelah kejadian.

"Demikian juga halnya dengan VeRP yang terlalu lama dari saat kejadian. Hasilnya akan dipengaruhi oleh status kejiwaan seseorang yang awalnya sehat, kemudian menjadi terganggu atau sakit secara psikologis karena stresor dari keterlambatan penanganan kasusnya. Pada kasus Luwu Timur ini, penelusuran dokumen menunjukkan bahwa pelaksanaan VeR maupun VeRP tidak segera setelah peristiwa dilaporkan," ucapnya.

Pada pemeriksaan VeR yang terlambat pelaksanaannya, luka fisik yang sebelumnya ada bisa jadi setelah beberapa hari sudah sembuh secara fisiologis atau karena sudah mendapatkan terapi. Jadi, hasil VeR bisa tidak sama bila dilakukan segera setelah kejadian.

"Demikian juga halnya dengan VeRP yang terlalu lama dari saat kejadian. Hasilnya akan dipengaruhi oleh status kejiwaan seseorang yang awalnya sehat, kemudian menjadi terganggu atau sakit secara psikologis karena stresor dari keterlambatan penanganan kasusnya. Pada kasus Luwu Timur ini, penelusuran dokumen menunjukkan bahwa pelaksanaan VeR maupun VeRP tidak segera setelah peristiwa dilaporkan," ucapnya.

Lebih jauh, dalam perkembangan kasus ini ada kesan bahwa hasil VeRP terhadap ibu korban justru digunakan untuk melemahkan kesaksian pada kasus. Padahal, kata dia, kondisi ini mungkin terjadi sebagai dampak psikologi sehingga perlu didukung pemulihannya.

"Kondisi mental seseorang juga tidak boleh menjadi dasar penghentian penyelidikan atau penghakiman terhadap kondisi kesehatan mental," katanya.

Atas temuan di atas, Komnas Perempuan memberikan sejumlah rekomendasi. Berikut ini rekomendasinya:

1. Mendukung Kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan kasus ini dengan berpedoman pada kepentingan terbaik bagi anak, memberikan perlakuan khusus dalam pengumpulan alat bukti sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Penyandang Disabilitas. Proses ini dapat dilakukan dengan menghadirkan ahli-ahli yang dapat membantu pembuktian;
2. Merekomendasikan Kepolisian untuk:
- Mengumpulkan dan menggunakan berbagai bukti-bukti lain, mengingat adanya bukti yang belum diperiksa dan melengkapinya dengan ahli-ahli yang kompeten di isu kekerasan terhadap anak,
- Memberikan penjelasan yang mendidik masyarakat terkait keterbatasan hukum pembuktian terkait keterangan saksi yang tidak disumpah daripada memberikan penilaian pemberitaan kasus ini sebagai hoaks,
- Mengutamakan pemeriksaan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak dari laporan sangkaan pencemaran nama baik melalui ITE terhadap ibu korban,
- Menggunakan hak jawab dan hak koreksi atas setiap pemberitaan atau produk jurnalistik yang terkait dengan pelayanan Polri,
- Memeriksa serangan siber berupa Dsos dan penyebaran data pribadi saksi;
3. Meminta Menkominfo untuk menghapus konten dan pemberitaan yang memuat data pribadi saksi kasus ini, sebagai bagian dari pemulihan korban dan pemenuhan hak anak yang tidak dapat dilepaskan dari ibunya;
4. Mendukung Kementerian PPA untuk memfasilitasi pendampingan dan pemulihan saksi dan korban kasus ini;
5. Merekomendasikan Kompolnas dan KPAI untuk mengawasi proses pemeriksaan kembali kasus ini dengan memastikan perlakuan khusus untuk anak dan penyandang disabilitas diterapkan secara ketat;
6. Mengapresiasi dan mendukung langkah jurnalis dan media yang turut mengupayakan akses keadilan dan pemulihan bagi korban;
7. Mengimbau jurnalis dan media untuk mematuhi kode etik jurnalistik serta pedoman liputan ramah anak dalam memberitakan kasus ini dengan tidak menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor;
8. Mengimbau masyarakat agar mendukung korban dan ibu korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan dengan tidak memberikan stigma, menyebarluaskan data saksi dan korban dan tidak mengkriminalkan upaya korban dalam mendapatkan keadilan;
9. Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan memastikan adanya terobosan hukum dalam hal pembuktian, termasuk dengan menggunakan pembelajaran dari kasus Luwu Timur ini.

Selanjutnya halaman berikutnya.

Ayah Diduga Perkosa 3 Anak Laporkan Ibu Korban ke Polisi Dinilai Salah Alamat

LBH Makassar menanggapi laporan ke polisi yang dilakukan ayah diduga memperkosa 3 anaknya di Luwu Timur (Lutim) terhadap ibu korban yang melaporkan kasus ini. Laporan pria berinisial S itu ke polisi dinilai salah alamat.

"Itu laporan yang salah alamat karena yang dilaporkan terkait liputan kasus ini dalam produk jurnalistik yang dilindungi UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers," ujar tim kuasa hukum ibu korban, Abdul Azis Dumpa, saat dimintai konfirmasi, Senin (18/10/2021).

Keberatan terhadap produk jurnalistik seperti pada kasus yang dialami S harus menempuh langkah-langkah sengketa pers, seperti lewat permintaan hak jawab atau hak koreksi, atau penyelesaian lewat mekanisme di Dewan Pers.

"Pihak kepolisian yang menerima laporan harus mengarahkan pelapor untuk melakukan langkah-langkah itu," lanjut Azis.

Menurut Azis, polisi sudah seharusnya tak memproses laporan S dan mengingatkan adanya Nota Kesepahaman Dewan Pers dengan Polri Nomor 02/DP/MoU/II/2017 Tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.

"Selain itu, dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tahun 2021 antara Kominfo, Kejaksaan Agung dan Polri tentang Pedoman Penerapan Pasal Tertentu dalam UU ITE memberikan pedoman dalam menerapkan Pasal 27 ayat 3 tentang Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik, ketika terkait dengan pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers yang merupakan kerja-kerja jurnalistik, maka dilakukan melalui mekanisme sesuai UU Pers sebagai lex specialis bukan menggunakan Pasal 27 ayat 3 dan perlu melibatkan Dewan Pers," tutur Azis.

Atas segala pertimbangan tersebut, lanjut Azis, penting bagi polisi tak memproses laporan S karena salah alamat.

"Sekarang tinggal melihat apakah komitmen dalam Nota Kesepahaman dan Keputusan Bersama yang ditandatangani Kapolri itu diterapkan," pungkas Azis.

Ibu Korban Ingatkan Pelaku Bertobat

Ibu berinisial RS, yang 3 anaknya diduga diperkosa oleh ayahnya sendiri buka suara setelah dipolisikan terduga pelaku atas tuduhan pencemaran nama baik. RS mengingatkan mantan suaminya berinisial S itu untuk segera bertobat ketimbang menutupi tuduhan pemerkosaan ke anak.

"Taubat nasuha saja biar otaknya semakin dingin, biar bisa berpikir sehat, bisa tau mana benar mana salah," ucap RS kepada kepada wartawan, Senin (18/10/2021).

RS mengaku tidak habis pikir karena S sebagai terlapor di kasus dugaan pemerkosaan anak tersebut selalu saja berbuat ulah. Dia juga menilai S kerap mengarang cerita.

"Saya saja nggak habis pikir, asli sifatnya (terduga pelaku) semua terbuka sejak kasus ini, kuat memfitnah saya sampai-sampai apa yang nggak ada dalam story hidup saja dia bisa loh ada-adain gitu ceritanya," kata RS tanpa merinci soal cerita yang dikarang tersebut.

"Kalau cerita tuh haruslah berdasarkan fakta, dosa tau bikin skenario, perbuatannya banyak diliput di media," sambung RS.

Kendati telah dipolisikan balik, RS mengaku tak terlalu ambil pusing. Dia mengaku hanya berfokus mencari keadilan untuk anak-anaknya.

"Kalau dari saya mah tenang-tenang saja, biar semua berjalan dengan sendirinya. Kalau kita benar insyaallah Tuhan selalu bersama orang-orang yang benar," kata RS.

Dia pun mengaku tak begitu masalah dengan mantan suaminya yang justru membuat laporan balik yang kemudian disebut oleh RS sebagai skenario pencemaran nama baik.

"Biarkan Tuhan yang mainkan skenario kehidupan ini, yang jelas kebenaran dan keadilan akan terungkap dengan sendirinya," kata RS.

"Insyaallah saya harus selalu bertanggung jawab atas ketiga amanah yang langsung diberikan ke saya dan saya akan pasang dada di depan sebagai ibu yang bertanggung jawab atas ketiga anak-anak saya," pungkas RS.

Halaman 6 dari 5
(yld/yld)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads