Komnas Perempuan Minta Polri Fokus 'Ayah Perkosa 3 Anak', Bukan Laporan Pelaku

Komnas Perempuan Minta Polri Fokus 'Ayah Perkosa 3 Anak', Bukan Laporan Pelaku

Farih Maulana Sidik, Muhammad Taufiqqurrahman - detikNews
Senin, 18 Okt 2021 15:33 WIB
Ilustrasi Pencabulan Anak. Andhika Akbarayansyah/detikcom.
Ilustrasi berita ayah diduga memperkosa 3 anaknya di Luwu Timur, Sulsel. (Andhika Akbarayansyah)
Jakarta -

Komnas Perempuan meminta Polri mengutamakan penyelidikan kasus dugaan ayah memperkosa 3 anaknya di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan (Sulsel). Polri diminta mengesampingkan laporan balik terduga pelaku kepada ibu korban yang mengungkap kasus ini atas tuduhan pencemaran nama baik.

Sebelum memberikan rekomendasi kepada Polri agar fokus ke penyelidikan dugaan ayah memperkosa 3 anaknya, Komnas Perempuan menyoroti kembali penghentian kasus ini oleh Polres Lutim dan Polda Sulsel sebelum kasus ini viral. Komnas Perempuan menilai ada bukti-bukti yang disetorkan oleh ibu korban di awal kasus ini yang tidak dipertimbangkan oleh Polri.

"Termasuk di dalamnya, perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan seksual, di antaranya anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi, atau pekerja sosial," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, dalam konferensi pers, Senin (18/10/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Siti melanjutkan seharusnya anak-anak yang diduga menjadi korban saat diperiksa polisi didampingi oleh ibunya atau setidaknya orang yang dipercaya oleh korban. Komnas Perempuan juga menyoroti bukti rekam medik dari dokter anak yang yang mengeluarkan diagnosis bahwa terjadi kerusakan pada jaringan anus dan vagina akibat kekerasan terhadap anak yang tidak dipertimbangkan untuk melanjutkan kasus ini.

"Komnas Perempuan juga mencermati adanya bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan. Dalam proses penyelidikan awal, dokter yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak kekerasan seksual tidak dimintai keterangan sebagai ahli," ucapnya.

ADVERTISEMENT

"Demikian halnya assessment yang dilakukan P2TP2A Sulawesi Selatan di Makassar yang dalam laporan psikologisnya menyebutkan ketiga anak 'tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas' ketiganya secara konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya," tambahnya.

Menurut Siti, tidak optimalnya pengumpulan barang-barang bukti dan alat bukti menyebabkan keputusan penghentian penyelidikan tersebut dipertanyakan oleh ibu korban dan tim kuasa hukum. Dalam kasus ini, keterangan anak korban I, II, dan III karena usianya di bawah 15 tahun tidaklah disumpah.

"Sedangkan keterangan saksi dewasa yaitu ibu korban yang berdasarkan pemeriksaan psikiater saat diperiksa ditemukan gejala berupa waham yang merupakan bagian dari disabilitas mental, yang dengan sendirinya juga tidak dapat disumpah," ujarnya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Selain itu, hasil visum et repertum (VeR) menjadi pertimbangan utama pembuktian tindak pidana, diikuti dengan visum et repertum psikiatrikum (VeRP). Menurutnya, hasil dari VeR dan VeRP dapat tergantung pada waktu dan metode yang dilakukan.

"Karenanya, VeR dan VeRP seharusnya dilakukan dalam tempo secepatnya. Bila terlambat beberapa hari atau dimintakan pemeriksaan ulang, hasil VeR dan VeRP bisa berbeda atau tidak relevan karena sesuai dengan kondisi saat VeR dan VeRP dilakukan," katanya.

Pada pemeriksaan VeR yang terlambat pelaksanaannya, luka fisik yang sebelumnya ada bisa jadi setelah beberapa hari sudah sembuh secara fisiologis atau karena sudah mendapatkan terapi. Jadi, hasil VeR bisa tidak sama bila dilakukan segera setelah kejadian.

"Demikian juga halnya dengan VeRP yang terlalu lama dari saat kejadian. Hasilnya akan dipengaruhi oleh status kejiwaan seseorang yang awalnya sehat, kemudian menjadi terganggu atau sakit secara psikologis karena stresor dari keterlambatan penanganan kasusnya. Pada kasus Luwu Timur ini, penelusuran dokumen menunjukkan bahwa pelaksanaan VeR maupun VeRP tidak segera setelah peristiwa dilaporkan," ucapnya.

Lebih jauh, dalam perkembangan kasus ini ada kesan bahwa hasil VeRP terhadap ibu korban justru digunakan untuk melemahkan kesaksian pada kasus. Padahal, kata dia, kondisi ini mungkin terjadi sebagai dampak psikologi sehingga perlu didukung pemulihannya.

"Kondisi mental seseorang juga tidak boleh menjadi dasar penghentian penyelidikan atau penghakiman terhadap kondisi kesehatan mental," katanya.

Atas temuan di atas, Komnas Perempuan memberikan sejumlah rekomendasi. Berikut ini rekomendasinya:

1. Mendukung Kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan kasus ini dengan berpedoman pada kepentingan terbaik bagi anak, memberikan perlakuan khusus dalam pengumpulan alat bukti sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU Penyandang Disabilitas. Proses ini dapat dilakukan dengan menghadirkan ahli-ahli yang dapat membantu pembuktian;
2. Merekomendasikan Kepolisian untuk:
- Mengumpulkan dan menggunakan berbagai bukti-bukti lain, mengingat adanya bukti yang belum diperiksa dan melengkapinya dengan ahli-ahli yang kompeten di isu kekerasan terhadap anak,
- Memberikan penjelasan yang mendidik masyarakat terkait keterbatasan hukum pembuktian terkait keterangan saksi yang tidak disumpah daripada memberikan penilaian pemberitaan kasus ini sebagai hoaks,
- Mengutamakan pemeriksaan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak dari laporan sangkaan pencemaran nama baik melalui ITE terhadap ibu korban,
- Menggunakan hak jawab dan hak koreksi atas setiap pemberitaan atau produk jurnalistik yang terkait dengan pelayanan Polri,
- Memeriksa serangan siber berupa Dsos dan penyebaran data pribadi saksi;
3. Meminta Menkominfo untuk menghapus konten dan pemberitaan yang memuat data pribadi saksi kasus ini, sebagai bagian dari pemulihan korban dan pemenuhan hak anak yang tidak dapat dilepaskan dari ibunya;
4. Mendukung Kementerian PPA untuk memfasilitasi pendampingan dan pemulihan saksi dan korban kasus ini;
5. Merekomendasikan Kompolnas dan KPAI untuk mengawasi proses pemeriksaan kembali kasus ini dengan memastikan perlakuan khusus untuk anak dan penyandang disabilitas diterapkan secara ketat;
6. Mengapresiasi dan mendukung langkah jurnalis dan media yang turut mengupayakan akses keadilan dan pemulihan bagi korban;
7. Mengimbau jurnalis dan media untuk mematuhi kode etik jurnalistik serta pedoman liputan ramah anak dalam memberitakan kasus ini dengan tidak menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor;
8. Mengimbau masyarakat agar mendukung korban dan ibu korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan dengan tidak memberikan stigma, menyebarluaskan data saksi dan korban dan tidak mengkriminalkan upaya korban dalam mendapatkan keadilan;
9. Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan memastikan adanya terobosan hukum dalam hal pembuktian, termasuk dengan menggunakan pembelajaran dari kasus Luwu Timur ini.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Ketua Komnas Perempuan Tegaskan Laporan Terduga Pelaku ke Ibu Korban Harus Dikesampingkan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berharap polisi fokus pada penyelidikan dugaan pencabulan 3 anak kandung di Luwu Timur, ketimbang pelaporan kepada ibu kandung selalu terlapor atas pencemaran nama baik oleh eks suaminya. Komnas Perempuan meminta polisi lebih bisa mengumpulkan alat bukti yang diduga masih banyak.

"Mengutamakan pemeriksaan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak dari laporan sangkaan pencemaran nama baik melalui ITE terhadap Ibu Korban," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam keterangan resminya, Senin (18/10/2021).

Komnas Perempuan juga mencermati adanya bukti-bukti yang tidak dipertimbangkan. Dalam proses penyelidikan awal, dokter yang memeriksa dan merawat ketiga anak dengan dugaan luka fisik terkait tindak kekerasan seksual tidak dimintai keterangan sebagai ahli.

Demikian halnya assessment yang dilakukan P2TP2A Sulawesi Selatan di Makassar yang dalam laporan psikologisnya menyebutkan ketiga anak "tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas".

Menurutnya, ketiganya secara konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya.

"Merekomendasikan Kepolisian untuk mengumpulkan dan menggunakan berbagai bukti-bukti lain, mengingat adanya bukti yang belum diperiksa dan melengkapinya dengan ahli-ahli yang kompeten di isu kekerasan terhadap anak," kata Andy.

Dia menegaskan dugaan kekerasan seksual pada 3 anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan menunjukkan kebutuhan mendesak perbaikan sistem pembuktian kasus kekerasan seksual. Sebagai langkah koreksi, penanganan kasus ini juga perlu dilakukan secara komprehensif, mengedepankan pemenuhan hak-hak korban atas keadilan dan pemulihan, berperspektif anak, perempuan dan penyandang disabilitas. Termasuk di dalamnya, adalah menghentikan kriminalisasi pada pelapor maupun terhadap media yang memberitakan upaya warga memperjuangkan keadilan.

Komnas Perempuan juga berpendapat bahwa pemeriksaan kasus ini haruslah mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Termasuk di dalamnya, perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan seksual; di antaranya Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.


Dalam kasus ini, diinformasikan bahwa anak-anak tidak didampingi oleh Ibu Korban atau setidak-tidaknya oleh orang yang dipercaya oleh Anak Korban. Sementara itu, permintaan Ibu Korban dan kuasa hukum untuk rekam medik dari dokter anak yang merawat dan telah mengeluarkan diagnosa bahwa terjadi kerusakan pada jaringan anus dan vagina akibat kekerasan terhadap anak tidak dikabulkan.

"Mengimbau masyarakat agar mendukung korban dan Ibu korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan dengan tidak memberikan stigma, menyebarluaskan data saksi dan korban dan tidak mengkriminalkan upaya korban dalam mendapatkan keadilan," terang dia.

Halaman 2 dari 3
(fas/nvl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads