Foto yang disebut sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di KPK membuat heboh. Mantan pegawai KPK, Tata Khoiriyah, menyesalkan kasus ini mencuat lagi.
"Saya menulis sedikit penjelasan karena pertanyaan yang sama berulangkali datang untuk sekedar mengkonfirmasi. Benarkah berita tersebut? Apakah ada klarifikasinya? Awalnya saya hanya balas selewatan. Lama-lama berujung pada diskusi panjang. Sampai akhirnya ketika situasi krisis, berita lama itu dimunculkan kembali untuk pembenaran atas alasan tes wawasan kebangsaan yang ujungnya menyingkirkan saya sebagai pegawai tetap KPK," kata Tata dalam tulisannya yang diunggah di akun Facebook-nya, Minggu (3/10/2021).
Ada beberapa poin yang disampaikan Tata melalui akun Facebook-nya. Awalnya, Tata bicara soal tugas penyebar foto, Iwan, yang merupakan pegawai tidak tetap (PTT) di KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tata mengatakan Iwan ditempatkan di bagian pengamanan rutan. Dia bertugas melakukan pengamanan terhadap tersangka dari rumah tahanan KPK atau rutan lain selama menjalani penanganan perkara.
"Sehingga dia memiliki akses yang terbatas dan khusus untuk bisa memasuki ruangan-ruangan di KPK. Sistem pengamanan di KPK memang sangat ketat dan dibatasi. Ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas yang dimilikinya. Saat saya masih menjadi bagian Biro Humas KPK, saya hanya bisa mengakses ruangan-ruangan yang bersifat publik dan lingkup kesekjenan. Bahkan saya tidak bisa membuka pintu ruang kerja atasan saya sendiri. Ruangan penindakan (tim penyelidik, penyidik, penuntutan, labuksi, monitor) hanya bisa diakses oleh pegawai di lantai itu sendiri. Termasuk pramusaji (OB) dan petugas kebersihan di lantai tersebut," kata Tata.
Tata mengatakan foto bendera yang disebut sebagai bendera HTI itu diambil di sebuah ruangan di lantai 10. Iwan, kata Tata, tidak memiliki akses ke ruangan yang merupakan ruang kerja penuntutan tersebut.
"Lantas dari mana Mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut? Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri ditempatkan di rumah tahanan," kata Tata.
Simak penjelasan KPK di halaman selanjutnya:
Simak Video: Bendera HTI di KPK Not Hoaks
Tata menggarisbawahi Iwan dianggap bersalah karena foto disebar tanpa ada klarifikasi, termasuk tanpa ada penjelasan. Hasil pemeriksaan pengawasan internal, katanya, menemukan pelanggaran etik yang dilakukan Iwan.
"Bahkan Mas Iwan sendiri melakukan dengan sengaja framing bahwa bendera tersebut bukti bahwa ada Taliban di KPK," tuturnya.
Awal Mula Ramai Soal Bendera HTI
Peristiwa itu terjadi sekitar September 2019, di mana kala itu KPK masih dipimpin Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Basaria Pandjaitan, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang. Sedangkan pimpinan KPK saat ini, yaitu Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron, baru dilantik pada Desember 2019.
Dari informasi yang didapat detikcom, foto yang diambil itu berada di Lantai 10 Gedung Merah Putih KPK, yang merupakan zona terlarang untuk didokumentasikan karena di sanalah para jaksa KPK bekerja. Larangan mengambil foto di lantai itu karena terdapat banyak berkas rahasia terkait dengan tugas para jaksa KPK.
Dari foto yang beredar, terlihat ada bendera dengan latar belakang putih dengan tulisan berwarna hitam. Bendera itu diduga merupakan Al Liwa, yaitu bendera dengan tulisan 'tauhid' pada zaman Rasulullah SAW.
Adapun bendera serupa, yaitu dengan latar belakang hitam dengan tulisan putih, disebut dengan 'Ar-Rayah'. Bendera-bendera ini kerap diidentikkan dengan HTI meski sebenarnya berbeda.
Penjelasan KPK
KPK sudah memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menerangkan tindakan yang dilakukan mantan petugas satpam KPK tindakan ilegal.
Ali mengatakan pegawai tersebut sengaja menyebarkan hoaks ke pihak eksternal sehingga memperburuk citra KPK. Dengan itu, pegawai tersebut dinyatakan melakukan pelanggaran berat, sesuai dengan pasalnya.
"Sehingga disimpulkan bahwa yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar (bohong) dan menyesatkan ke pihak eksternal. Hal tersebut kemudian menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK," kata Ali.
"Perbuatan-perbuatan ini termasuk kategori Pelanggaran Berat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 huruf s Perkom Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK," tambahnya.