Anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie menilai seorang pengacara atau advokat menjabat ketua umum partai politik sulit diterima etika kepantasan. Apalagi turut mempersoalkan AD/ART partai lain. Siapa yang dimaksud Jimly? Yusril Ihza Mahendra pun bereaksi.
Jimly berbicara perihal seorang advokat yang menjabat sebagai ketum partai, namun turut mempersoalkan AD/ART partai lain, melalui akun Twitter @JimlyAs, Sabtu (2/12/2021). Jimly menyebut penegakan hukum harus dilakukan seiring dengan penegakan etika bernegara.
"Tapi perlu diingat juga, tegaknya hukum dan keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara. Meski UU tidak eksplisit larang advokat jadi ketum parpol, tapi etika kepantasan sulit diterima, apalagi mau persoalkan AD parpol lain. Meski hukum selalu tertulis, kepantasan dan baik-buruk bisa cukup dengan sense of ethics," tulis Jimly seperti dilihat detikcom, Minggu (3/10).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Seperti diketahui, Yusril saat ini menjabat Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB). Dia juga di-hire oleh empat mantan kader Demokrat untuk menggugat AD/ART partai berlambang mirip logo Mercy itu ke Mahkamah Agung (MA).
Yusril pun membalas pernyataan Jimly. Yusril menyebut Jimly meninggalkan warisan atau legacy memalukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Prof Jimly batalkan UU KY (Komisi Yudisial) yang mengatur kewenangan KY untuk mengawasi etik dan perilaku hakim, sehingga KY tidak bisa mengawasi hakim MK. Ini legacy paling memalukan dalam sejarah hukum kita ketika Prof Jimly menjadi Ketua MK," kata Yusril kepada wartawan, Minggu (3/10).
"UU Kekuasaan Kehakiman tegas memerintahkan agar hakim mundur menangani perkara kalau dia berkepentingan dengan perkara itu. Di mana etika Prof Jimly?" imbuhnya.
Yusril menyayangkan tidak hakim yang berbeda pendapat kala itu. Dia menilai seharusnya hakim MK menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
"Namun tidak seorang pun yang mengemukakan dissenting opinion dengan, misalnya, mengatakan, 'tidaklah etis MK menguji UU yang para hakim MK sendiri berkepentingan dengannya'," sesal Yusril.
"Tokoh pengujian materiil bukan hanya bisa dilakukan MK, legislative review juga bisa. Akan lebih memenuhi 'etika kepantasan' jika menyatakan 'tidak berwenang' memeriksa dan memutus perkara tersebut dan menyerahkannya kepada legislative review," sambung dia.
Baca selengkapnya pernyataan Yusril di halaman berikutnya.
Simak juga 'Demokrat Kubu Moeldoko Bantah Bayar Yusril Rp 100 M':