Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Morgan Simanjuntak, menyatakan tidak dapat menerima gugatan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap KPK terkait penghentian supervisi untuk menemukan 'king maker' di kasus Djoko Tjandra. Hakim menilai pemohon, yaitu MAKI, tidak memiliki legal standing dalam mengajukan gugatan praperadilan.
"Mengadili, dalam eksepsi mengabulkan eksepsi termohon. Dalam pokok perkara, menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima," kata hakim Morgan Simanjuntak di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (29/7/2021).
Hakim menyatakan pemohon pertama, yakni MAKI, tidak memiliki legal standing karena masa berlaku Surat Keterangan Terdaftar sebagai ormas telah habis. Sedangkan pemohon kedua Lembaga Pengawas dan Pengawal Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) juga dinyatakan tidak memiliki legal standing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, hakim menyatakan tidak dapat menerima permohonan praperadilan yang diajukan pemohon. Selain itu, hakim tak mempertimbangkan lagi dalil permohonan yang diajukan pemohon karena tidak memiliki legal standing.
"Menimbang maka apa yang dikemukakan termohon dalam eksepsinya beralasan. Dan oleh karena itu, pemohon satu dan dua tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan praperadilan sehingga permohonan praperadilan yang diajukan pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima," kata Morgan.
"Menimbang bahwa karena pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan praperadilan, maka dalil-dalil pemohon dalam permohonan praperadilan tidak perlu dipertimbangkan lagi," ujarnya.
Merespon gugatannya tidak diterima, pihak pemohon, Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho mengatakan pihaknya akan mengajukan kembali gugatan praperadilan setelah mengurus legal standing para pemohon.
"Kalau soal mengajukan gugatan lagi kita akan ajukan lagi, karena kan apapun ceritanya artinya harus diungkap, karena dalam persidangan Pinangki maupun Anita itu tidak terungkap siapa sebenarnya 'king maker', apa perannya serta siapa dia sebenarnya apakah dia pegawai negeri, pejabat negara, aparat penegak hukum atau swasta biasa," kata Kurniawan, seusai sidang pembacaan putusan.
Kurniawan mengaku menghormati putusan hakim praperadilan. Namun ia akan kembali mengajukan gugatan praperadilan setelah mengurus dokumen legal standing yaitu Surat Keterangan Terdaftar untuk ormas MAKI yang dinyatakan kedaluwarsa. Sebab menurutnya gugatan praperadilan bisa diajukan berkali-kali karena belum masuk sidang pokok perkara.
"Azas nebis in idem itu berlaku terhadap perkara yang diputuskan pokok perkaranya terhadap seseorang bersalah atau tidak. Sementara praperadilan itu hanya bicara formalitas dari penanganan penyidikan perkara, sehingga nebis in idem itu tidak berlaku," katanya.
Sebelumnya, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK terkait penghentian penyidikan kasus korupsi pengurusan fatwa MA yang mana sosok 'king maker' dalam kasus tersebut belum terungkap. Gugatan praperadilan tersebut didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Adapun gugatan praperadilan itu didaftarkan ke PN Jaksel pada Senin (23/8) dengan nomor register perkara 83/pid.pra/2021/PN.Jkt.Sel. Dalam gugatannya, Boyamin meminta hakim menyatakan KPK tidak sah menghentikan perkara penyidikan kasus suap fatwa MA tersebut karena belum mengusut sosok 'king maker'.
"Menyatakan secara hukum termohon (KPK) telah melakukan tindakan penghentian penyidikan secara tidak sah menurut hukum terhadap Perkara dugaan tindak pidana korupsi pengurusan fatwa oleh King Maker sebagai aktor intelektual dari Pinangki Sirna Malasari Dkk untuk membebaskan Djoko Tjandra atas vonis penjara perkara korupsi Bank Bali," kata Boyamin dalam surat permohonan praperadilannya, Selasa (24/8).
(yld/dhn)