Banyak alasan yang bisa menjadi penyebab perceraian. Dari munculnya orang ketiga, perselingkuhan, hingga berselisih paham berkepanjangan. Namun bolehkah cerai dengan alasan pasangan pinjam pinjol diam-diam?
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate yang dikirim ke e-mail: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com Berikut pertanyaan lengkapnya:
Selamat pagi
Saya mau menanyakan perihal peminjaman online.
Apakah saya sebagai suami harus menanggung peminjaman online yang dilakukan istri saya? Bagaimana jika saya menceraikan istri saya? Apakah pertanggungan peminjaman online tersebut masih menjadi tanggungan saya?
Saya tidak mengadakan perjanjian harta bersama. Dan apakah saya bisa menceraikan istri saya dan memiliki hak asuh anak saya jika peminjaman online sebagai bukti perceraian?
Kami menikah dengan agama Islam. Pinjaman belum membengkak karena saya baru mengetahuinya.
Terima kasih
Untuk menjawab masalah di atas, tim detik's Advocate meminta pendapat hukum dari Slamet Yuono, SH, MH (partner pada Kantor Hukum 99 & Rekan). Berikut jawaban lengkapnya:
Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan kepada detik's Advocate. Berdasarkan uraian yang Saudara sampaikan, ada 2 (dua) pertanyaan pokok yang Saudara sampaikan, yakni:
1. Bagaimana jika saya menceraikan istri saya, apakah pertanggungan peminjaman online tersebut masih menjadi tanggungan saya?
2. Apakah saya bisa menceraikan istri saya dan memiliki hak asuh anak?
Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, perlu kami sampaikan, terkait dengan pinjaman online, kami memperhatikan banyak sekali korban dari penagihan yang tidak manusiawi, mulai akses kontak di HP, galeri foto, membuat grup WhatsApp untuk menagih, mempermalukan sebagai maling, pengedar narkoba, dan cara-cara lain yang jelas pertentangan dengan hukum. Akibat dari penagihan tersebut di atas, beberapa korban dipecat dari tempat kerja, bercerai, berniat menjual ginjal, hampir bunuh diri, dan ada korban yang bunuh diri.
Tentunya akibat-akibat yang ada tidak terpikirkan sebelumnya oleh para korban karena kebanyakan korban pinjol yang kami advokasi tidak mengetahui jika pinjaman online itu ada yang legal (terdaftar dan berizin dari OJK) dan ilegal, petaka akan muncul ketika korban menyetujui peminjaman di mana pemotongan biaya sampai 40 persen dari jumlah pinjaman, ternyata jangka waktu tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, di mana pinjaman harus sudah lunas dalam waktu 7 hari dan teror datang silih berganti jika tidak dilakukan pelunasan atau perpanjangan.
Bahwa dari pengalaman melakukan advokasi kepada para korban, kebanyakan mereka terjebak pinjol ilegal dan harus gali lubang tutup lubang, sehingga mau tidak mau harus pinjam baru lagi atau perpanjangan jika tidak ingin disebarkan datanya atau dilakukan penagihan ke kontak yang ada di HP peminjam. Kami tidak mengetahui apakah istri Saudara terlilit utang pinjol karena adanya ancaman dan intimidasi sehingga terpaksa menutup lubang dengan melakukan peminjaman baru atau memang ada beberapa utang di tempat lain sebelumnya.
Untuk lebih jelas, kami mencoba menguraikan jawaban atas pertanyaan Saudara:
1.Bagaimana jika saya menceraikan istri saya, apakah pertanggungan peminjaman online tersebut masih menjadi tanggungan saya?
Hidup berumah tangga tentu akan merasakan susah-senang, kondisi naik-turun perekonomian keluarga, ketika kebutuhan keluarga mendesak, sedangkan pemasukan minim ada kalanya meminjam uang/berutang menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terkait dengan utang melalui pinjol yang dilakukan oleh istri Saudara, perlu diperhatikan antara lain:
a. Apakah utang tersebut memang dipergunakan untuk kebutuhan rumah tangga (untuk belanja, untuk kebutuhan anak-anak), untuk mengangsur kredit baik untuk rumah atau kendaraan di mana kebutuhan ini adalah merupakan tanggung jawab seorang suami;
b. Apakah utang tersebut dipergunakan untuk keperluan pribadi istri, seperti untuk membeli perhiasan, ke salon kecantikan, dan kebutuhan pribadi lainnya.
Jika istri berutang ke pinjol untuk kebutuhan rumah tangga, utang tersebut ditanggung bersama oleh pasangan suami-istri. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:
Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
Selanjutnya, jika istri berutang ke pinjol untuk keperluan pribadi, utang tersebut menjadi utang pribadi istri. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:
Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing.
Implementasi Pasal 93 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam harus disandikan dengan Bab VII tentang Harta Benda Dalam Perkawinan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Jadi terhadap harta bersama pasangan suami-istri harus saling terbuka dan memiliki komitmen terkait dengan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan pihak ketiga harus mendapatkan persetujuan dari suami atau istri. Pada hakikatnya tidak ada pasangan yang ingin terjerat utang, namun terkadang utang ada karena jalan lain mendapatkan uang sudah tidak ada. Jika kita memilih bercerai karena pasangan memiliki utang demi memenuhi kebutuhan dan keperluan pokok keluarga, rasanya sangat tidak tepat jika harus menempuh perceraian. Akan lebih baik lagi jika bisa dimusyawarahkan bagaimana alternatif penyelesaian dari utang yang ada secara bersama-sama.
Simak video 'Di-ghosting Pasangan, Bolehkah Saya Nikah Lagi?':