Belakangan ini, banyak pejabat yang mendapat gelar Profesor dari kampus-kampus di Indonesia, seperti Ketua Mahkamah Agung (MA) Syarifuddin dari Undip Semarang dan Jaksa Agung ST Burhanuddin dari Unsoed, Purwokerto. Lalu bagaimana dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)?
"Saya sendiri terus terang saja ada juga yang tanya, 'Kok nggak mau ini (gelar Profesor-red)?'. Nggaklah, saya melihat beliau-beliau ini yang dengan susah payah untuk mencapai profesor, itu kan luar biasa," kata Anwar Usman.
Hal itu tertuang dalam risalah sidang yang dikutip dari website MK, Minggu (12/9/2021). Pernyataan itu disampaikan dalam sidang di MK pada 8 September 2021 kemarin. Sidang ini diajukan oleh dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati yang sudah lolos syarat Profesor dari UI tapi tidak dikabulkan oleh Mendikbudristek. Oleh sebab itu, Sri melakukan judicial review UU Guru dan Dosen ke MK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akhir-akhir ini, saya juga terus terang mendengar keluh kesah dari rekan-rekan dosen yang dengan susah payah untuk mencapai puncak, entah karir atau profesi jabatan fungsional seperti yang disampaikan oleh Yang Mulia Pak Suhartoyo. Tetapi di sisi lain, begitu mudahnya juga ada orang-orang yang bisa mencapai itu, sehingga tadi betul apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Prof Saldi. Jadi untuk membedakan, misalnya profesor yang artinya asli dari kampus, yang menapaki jenjang karir sampai puncak itu, dengan yang, mohon maaf seperti, ya katakanlah mungkin bisa seperti doktor honoris causa," tutur Anwar.
Dalam sidang itu, Wakil Ketua MK Aswanto juga membuka bobroknya proses meraih profesor di Indonesia. Aswanto pernah menjadi Dekan FH Universitas Hasanuddin sehingga dia paham proses pengajuan dosen menjadi profesor.
Aswanto mencontohkan ada kolega dosennya sudah lolos penilaian oleh kampus, baik di tingkat Departemen, lalu naik ke Fakultas dan terakhir di Universitas. Namun saat dimintai persetujuan ke Kemendikbudristek, koleganya gagal meraih Profesor dengan alasan koleganya menulis tulisan ilmiah di jurnal bodong.
"Padahal sebelumnya sudah banyak kolega lain yang menggunakan jurnal itu dan tidak ada masalah," tutur Aswanto.
Masalah lain, kata Aswanto, ada syarat menulis di jurnal internasional. Namun banyak tulisan yang tidak dimuat karena berbeda ideologi dengan jurnal internasional tersebut yang berwatak liberal. Oleh sebab itu, Aswanto meminta Kemendikbudristek agar memikirkan hal tersebut.
"Bukan persoalan benar atau tidak benar, tapi persoalan filosofinya yang tidak sama. Nah, itulah sebabnya mungkin Pemerintah bisa memikirkan, ada ndak, bisa ndak, dengan jalan lain? Kalau alasan kita adalah untuk mempertahankan kualitas," tutur Aswanto yang juga profesor itu.
Baca selengkapnya di halaman berikutnya.
"Nah, apa sebenarnya yang ingin dicapai Pemerintah dengan membatasi itu? Apalagi kalau kita lihat bahwa kan di negara lain istilah profesor itu, ya dosen saja, misalnya di beberapa negara, dosen itu semua dipanggil profesor, begitu. Bahkan suatu negara dianggap maju ketika, misalnya perbandingan penduduk antara yang doktor dengan yang tidak, yang master dengan yang tidak, yang profesor dengan tidak. Itu adalah salah satu indikasi untuk menentukan bahwa negara itu sudah maju atau sudah berkembang, gitu," papar Aswanto, yang juga Guru Besar Unhas itu.
"Nah, apakah ini justru tidak menghalangi atau justru tidak menahan kita untuk memperoleh status maju atau berkembang itu?" imbuhnya.
Adapun hakim konstitusi Saldi Isra yang juga Profesor dan Guru Besar Universitas Andalas (Unand) Padang, mempertanyakan soal standar syarat menjadi profesor yang berubah-ubah. Saldi juga mempertanyakan mengapa pejabat gampang meraih gelar profesor dibandingkan dengan dosen.
"Saya ini sebetulnya kalau pakai persyaratan hari ini jangan-jangan saya tidak layak jadi Profesor. Tidak ada jurnal internasionalnya, tidak ada ini, dan segala macamnya. Dan itu bukan pekerjaan yang gampang. Kalau jurnal internasional yang terindeks Scopus yang dikelola secara benar, kita bisa menunggu 2-3 tahun lho, baru sebuah tulisan bisa dianggap layak untuk diterbitkan," kata Saldi.
Mendapati pertanyaan bertubi-tubi itu, Kemendikbudristek yang diwakili oleh Irjennya, Chatarina Girsang mengaku mencatat semua pertanyaan dan akan menjawab secara tertulis. Rencananya sidang akan dilakukan lagi pada 28 September 2021.
"Sudah saya catat semua," kata Chatarina pendek.