Kejaksaan Agung (Kejagung) menghentikan penyidikan (SP3) dugaan kasus korupsi di PT Pelindo II. Kasus yang diduga terkait dengan sewa dermaga ini dihentikan karena unsur kerugian negaranya sulit ditemukan.
Perjalanan kasus dugaan korupsi di PT Pelindo II terkait sewa dermaga ini dimulai setelah Menko Polhukam Mahfud Md meminta kasus yang terkatung-katung diselesaikan. Mahfud bahkan meminta kepolisian, kejaksaan, dan KPK memberikan kepastian hukum terhadap perkara tersebut.
"Tidak secara spesifik (bahas SP3), tapi itu bisa menjadi bagian di KPK, Kejagung, kepolisian, banyak kasus terkatung-katung. Banyak perkara yang dari P-19 ke P-21 ke P-17, P-18 itu sering bolak-balik banyak kasus. Untuk itu, kita minta ke Kejagung dan kepolisian bagaimana menyelesaikan itu agar tidak bolak-balik, segera ada kepastian hukum. Kalau harus diproses ya diproses, kalau nggak ya jangan bolak-balik," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (23/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu kasus yang terkatung-katung saat itu adalah dugaan korupsi eks Dirut PT Pelindo II, RJ Lino.
Kasus yang menjerat RJ Lino ini terkait kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane (QCC) di PT Pelindo II. RJ sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 2015. RJ Lino baru ditahan pada 26 Maret 2021, setelah Kejagung membuka penyidikan baru terkait kasus sewa dermaga.
Lino diduga menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi dalam pengadaan tiga unit QCC pada 2010. Lino juga diduga menyalahgunakan kewenangannya dengan memerintahkan penunjukan langsung kepada perusahaan asal China untuk pengadaan tiga QCC tersebut.
Pada saat itu, Lino menjabat Direktur Utama PT Pelindo II. Kerugian negara dalam kasus ini disebut mencapai Rp 60 miliar.
Simak juga 'Eksepsi RJ Lino Ditolak, Sidang Kasus Pelindo II Dilanjutkan':
Terkait Tarif Sewa Dermaga
Selanjutnya, Kejagung membuka penyidikan baru dalam kasus Pelindo II ini. Dia menyebut penyidikan barunya terkait dugaan penyimpangan sewa tarif dermaga.
"Mungkin terkait sewa dermaga, ada kaitannya dengan itulah. Pelabuhan itu kan navigasi, ada tarif. Dugaannya ada penyimpangan terkait sewa-menyewa itu. Kira-kira itulah," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono kepada wartawan di Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (20/10/2020).
Namun saat itu Ali belum memerinci dugaan kerugian negara akibat kasus ini. Dia memastikan Kejagung telah berkoordinasi dengan lembaga yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara.
"Masih tunggu BPK dan BPKP," ucap Ali.
Terkait JICT
Kejagung juga sempat mengatakan penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi PT Pelindo II tersebut diduga berkaitan dengan Jakarta International Container Terminal (JICT). Pasalnya, Kejagung menyebut adanya perbuatan melawan hukum dalam perpanjangan kontrak dermaga tersebut.
"Penyidik melakukan penyidikan di Pelindo II, dugaannya itu di sana ada JICT (Jakarta International Container Terminal) diduga operasi terhadap JICT itu, masa berlakunya sudah habis di 2015. Dugaan perpanjangannya inilah setelah 2015 ini, diduga ada perbuatan melawan hukum," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Hari Setiyono, kepada wartawan di Kompleks Kejagung, Jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (26/10/2020).
Hari menerangkan, pihaknya saat ini tengah gencar melakukan penyidikan terkait perjanjian dan perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut. Meski begitu, Hari belum mau menyebutkan terkait kerugian negara akibat kasus perusahaan pelat merah itu.
"Ini masih dicari. Jadi terkait pengelolaan pelabuhan oleh JICT yang diduga perjanjiannya sudah habis, kemudian diduga ada perbuatan melawan hukum ketika dilakukan perpanjangan, seperti apa inilah yang sekarang masih proses penyidikan, kerugian keuangan negaranya berapa, masih belum dihitung secara tuntas," tuturnya.
Kini Disetop
Hampir setahun berlalu, kasus ini pun dihentikan. Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jampidsus Kejagung, Supardi, menyatakan pihaknya menghentikan penyidikan kasus itu karena unsur kerugian negara sulit ditemukan.
"Ya sudah (diSP3). Unsur kerugian negara yang sulit ditemukan," kata Supardi kepada wartawan saat dihubungi, Selasa (7/9/2021).
Supardi menjelaskan, kerugian negara sulit ditemukan karena masih berupa perkiraan (potential loss), sehingga belum dapat dipastikan berapa angka pasti kerugian negara akibat perbuatan tindak pidana.
"Masih potential loss. Jadi masih ada opportunity cost yang mungkin bisa diperhitungkan dan kita belum bisa dipastikan berapa, apakah itu bener rugi, apakah untung, itu belum bisa dipastikan," ungkapnya.
Lebih lanjut, perbuatan tindak pidana juga harus memenuhi unsur-unsur pidana di suatu pasal. Dia mengatakan, ketika salah satu unsur belum memenuhi pasalnya, hal itu akan menimbulkan ketidakpastian. Namun, menurutnya, penyidikan dapat dibuka kembali apabila ditemukan bukti baru.
"Kalau pasalnya gak memenuhi salah satu unsur, kalau diteruskan ya sebuah ketidakpastian nanti. Sampai nanti suatu titik ditemukan alat bukti baru," ujarnya.