RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan tak kunjung rampung sejak digagas pada 2012. Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PKS Willy Aditya memberikan penjelasan penyebab belum rampungnya RUU tersebut.
Willy mengatakan berbagai rapat dengar pendapat sudah digelar dan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, dari kelompok pendukung ataupun penolak RUU PKS. Willy menjelaskan lahirnya draf baru yang diberi judul RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berstatus sebagai draf awal.
Legislator NasDem ini mengatakan berbagai masukan dan pandangan masih terbuka dalam pembahasan RUU ini di tahap-tahap selanjutnya. Di dalam RUU TPKS, terjadi beberapa perubahan redaksi dan materi yang terjadi agar pembahasan RUU ini terus mengalami kemajuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenyataan bahwa lahirnya judul dan materi baru ini mendapatkan kritik dari sejumlah kelompok, cukup disadari dan bisa dimaklumi," ujar Willy kepada wartawan, Selasa (7/9/2021).
Baca juga: Kecaman di Mana-mana Saat RUU PKS Salin Rupa |
Willy mengatakan kritik yang muncul menunjukkan RUU ini telah mengalami kemajuan dan terjadi dialog selama pembahasannya. Dia mengatakan pihaknya berupaya mencari titik temu antara pihak yang mendukung dan menolak RUU PKS.
Willy mengatakan pembahasan RUU bukan berarti harus ada yang menang dan ada yang kalah. Willy menilai semua pihak sepakat fenomena kekerasan seksual sudah sangat meresahkan. Menurutnya, RUU PKS ditujukan untuk melindungi korban dan memperhatikan perkembangan kondisi korban di masa depan.
"Adapun terhadap perbedaan-perbedaan lainnya, yang paling dibutuhkan adalah langkah-langkah dialog dengan hati dan pikiran terbuka," ujar Willy.
Dia kemudian menjelaskan soal pasal-pasal RUU PKS yang dihapus dalam draf RUU TPKS. Willy menjelaskan tim ahli sudah mempelajarinya dan melihat beberapa undang-undang yang ada, seperti RUU KUHP, Perkawinan dan KDRT, serta undang-undang lainnya.
"Prinsipnya apa yang sudah termaktub di dalam UU itu kita tidak bahas di sini (RUU TPKS)," jelasnya.
Willy mengaku tak mempermasalahkan kritik terhadap proses pembahasan RUU PKS yang kini berubah nama menjadi RUU TPKS. Willy berharap semua permasalahan bisa dituntaskan lewat dialog.
"Dialog untuk kemaslahatan kita bersama. Jangan saling caci maki, jangan saling tuding tidak Pancasilais dan sebagainya," tuturnya.
RUU PKS Bersalin Rupa
RUU PKS menjadi salah satu RUU yang dinanti-nanti pengesahannya. Namun, dalam draf terbaru, diksi 'penghapusan' pada judul RUU dihapus.
Tak hanya itu, definisi 'pemerkosaan' juga diperhalus menjadi 'pemaksaan hubungan seksual'. Draf terbaru ini muncul setelah Badan Legislasi DPR RI menggelar rapat pleno penyusunan draf RUU PKS pada Senin (30/8).
Draf terbaru ini juga hanya mengakui empat jenis kekerasan seksual yang semula ada sembilan jenis. Keempat kekerasan seksual itu adalah: 1) Pelecehan Seksual (fisik dan nonfisik); 2) Pemaksaan Kontrasepsi; 3) Pemaksaan Hubungan Seksual; dan 4) Eksploitasi Seksual.
Padahal, pada naskah RUU PKS sebelumnya, masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual (pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual).
Bentuk kekerasan itu didasarkan pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengada layanan dan Komnas Perempuan.
Riwayat RUU PKS
Komnas Perempuan melalui laporan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2016 menyatakan RUU PKS digagas sejak 2012, tapi baru direalisasikan pada awal 2014.
#MAKSAdukungRUUPKS juga mengatakan RUU PKS digagas Komnas Perempuan pada 2012. Kehadiran RUU itu dinilai mereka mampu memberikan perlindungan terhadap korban sekaligus mencegah kekerasan seksual.
"RUU PKS memiliki jalan panjang dalam proses pengesahannya. Meskipun telah memasuki 8 tahun semenjak penggagasannya, RUU P-KS masih belum menjadi peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur secara khusus mengenai penghapusan kekerasan seksual," kata #MAKSAdukungRUUPKS dalam keterangan pernyataan dukungannya, ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ketua DPR, hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Draf RUU PKS kemudian disusun pada 2014. Penyusunan dilakukan oleh Komnas Perempuan bersama LBH Apik Jakarta dan Forum Pengada Layanan. Pada 2016, draf RUU itu diserahkan ke pimpinan DPR.