Ramai Isu Perpanjang Masa Jabatan Presiden, HMI Sumut Tolak Amandemen

Ramai Isu Perpanjang Masa Jabatan Presiden, HMI Sumut Tolak Amandemen

Ahmad Arfah Fansuri - detikNews
Jumat, 03 Sep 2021 11:30 WIB
Pembangunan gedung baru untuk DPR RI menuai kritikan berbagai pihak walaupun Ketua DPR Setya Novanto menyebut Presiden Jokowi telah setuju pembangunan tersebut. Tetapi Presiden Jokowi belum teken Perpres tentang pembangunan Gedung DPR. Lamhot Aritonang/detikcom.
Gedung MPR/DPR (Foto: dok. detikcom)
Medan -

Wacana amandemen UUD 1945 bergulir ke arah perpanjangan periode jabatan presiden. HMI Sumut menolak wacana amandemen UUD 1945.

"Amandemen UUD 1945 tidak perlu dilakukan. Jika ada wacana amandemen, harus ditolak. Amandemen ini berpotensi membuka ruang dan pintu masuk untuk menambahkan masa jabatan presiden," kata Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Nopa Adetiya, Jumat (3/9/2021).

Nopa menilai dalih memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai dasar amandemen harus dicurigai. Dia khawatir hal ini hanya sebagai cara untuk memasukkan pembahasan perpanjangan masa jabatan presiden saat amandemen dilakukan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita khawatir pembahasan akan melebar ke mana-mana dan berdampak merugikan bangsa Indonesia. Tidak ada yang bisa menggaransi amandemen dilakukan hanya untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)," tuturnya.

Nopa menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Menurutnya, aturan pembatasan jabatan presiden yang hanya dua periode sudah sesuai.

ADVERTISEMENT

"Jadi tidak perlu lagilah masa jabatan presiden diperpanjang. Ini kan nilai yang direbut saat pergantian dari Orde Baru ke Reformasi yang lalu. Presiden dua periode cukup," kata Nopa.

Nopa kemudian meminta pemerintah bersama DPR berfokus membuat aturan-aturan tentang penanganan pandemi virus Corona. Hal ini, kata Nopa, lebih dibutuhkan saat ini.

"Kita butuh formulasi baru tentang penanganan pandemi. Kita ingin pandemi ini selesai, makanya perlu kebijakan yang sesuai dikeluarkan pemerintah dan DPR. Mungkin itu yang lebih penting dibahas saat ini," jelasnya.

Munculnya Wacana Amandemen

Sebelumnya, rencana akan dilakukan amandemen ini disampaikan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (Zulhas). Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN di Jakarta, Zulhas mengungkapkan apa saja yang dibahas saat pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan partai pendukung pemerintah, yakni soal pandemi COVID-19, masalah ekonomi, serta hubungan pusat dengan daerah.

Zulhas lalu bercerita ada pula pembahasan terkait problematika yang saat ini terjadi di lingkup kelembagaan Indonesia.

"Ada beberapa bicara, 'Wah, kita kalau gini terus, ribut, susah, lamban, bupati nggak ikut gubernur, gubernur nggak ikut macam-macamlah ya'. Merasa KY lembaga paling tinggi, paling kuat, MA nggak. MA merasa paling kuasa, MK nggak. MK katanya yang paling kuasa. DPR paling kuasa. Semua merasa paling kuasa," kata Zulhas, dalam acara tersebut, Selasa (31/8).

Maka Zulhas menilai perlu ada evaluasi setelah amandemen 23 tahun lalu. Salah satunya soal demokrasi yang dianut oleh Indonesia.

"Jadi, setelah 23 tahun, hasil amandemen itu menurut saya memang perlu dievaluasi. Termasuk demokrasi kita ini, kita mau ke mana, perlu dievaluasi," jelas Zulhas.

Wacana amandemen UUD 1945 tersebut ditolak oleh partai-partai nonkoalisi pemerintah, PKS dan Demokrat. PKS dan Demokrat kompak menilai amandemen tidak diperlukan.

(jbr/jbr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads