Wacana amandemen UUD 1945 terus bergulir dan merembet ke isu perpanjangan masa jabatan presiden. Kontras Sumut menolak amandemen karena dinilai tidak urgen.
"Wacana amandemen UUD 1945 dalam konteks perpanjangan masa jabatan presiden itu berlebihan," kata Koordinator Kontras Sumut Amin Multazam Lubis saat dihubungi, Jumat (3/9/2021).
Amin mengatakan dalam demokrasi sudah disepakati masa jabatan presiden dibatasi dua periode. Dia menilai, jika amandemen dilakukan untuk mengubah masa jabatan presiden, hal itu merupakan penghinaan terhadap demokrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu bukan hal substansi, untuk apa kita memperpanjang masa jabatan presiden? Apa pentingnya itu? Itu kan sama saja kita menghina demokrasi yang sudah kita bangun selama ini," tuturnya.
"Kalau mengubah amandemen itu menjadi tiga periode, itu bukan kebutuhan bangsa. Bukan kebutuhan mendesak saat ini. Menurutku, fokus kita bukan soal sirkulasi kekuasaan ke depan, tapi bagaimana menghadapi pandemi. Penanganan seperti apa? Kita lihat di negara lain sudah lewat," tambahnya.
Amin menduga wacana amandemen ini dimunculkan hanya untuk kepentingan politik. Dia menduga amandemen dilakukan agar pemerintah dapat mempertahankan kekuasaan.
"Wacana ini diluncurkan untuk mempertahankan kekuasaan. Saya kira rezim hari ini gugup menghadapi periode ke depan sehingga memunculkan wacana penguasa hari ini tetap berkuasa di periode ke depan," jelasnya.
Munculnya Wacana Amandemen
Sebelumnya, rencana akan dilakukan amandemen ini disampaikan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (Zulhas). Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN di Jakarta, Zulhas mengungkapkan apa saja yang dibahas saat pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan partai pendukung pemerintah, yakni soal pandemi COVID-19, masalah ekonomi, serta hubungan pusat dengan daerah.
Zulhas lalu bercerita ada pula pembahasan terkait problematika yang saat ini terjadi di lingkup kelembagaan Indonesia.
"Ada beberapa bicara, 'Wah, kita kalau gini terus, ribut, susah, lamban, bupati nggak ikut gubernur, gubernur nggak ikut macam-macamlah ya'. Merasa KY lembaga paling tinggi, paling kuat, MA nggak. MA merasa paling kuasa, MK nggak. MK katanya yang paling kuasa. DPR paling kuasa. Semua merasa paling kuasa," kata Zulhas dalam acara tersebut, Selasa (31/8).
Maka Zulhas menilai perlu ada evaluasi setelah amandemen 23 tahun lalu. Salah satunya soal demokrasi yang dianut oleh Indonesia.
"Jadi, setelah 23 tahun, hasil amandemen itu menurut saya memang perlu dievaluasi. Termasuk demokrasi kita ini, kita mau ke mana, perlu dievaluasi," jelas Zulhas.
Wacana amandemen UUD 1945 tersebut ditolak oleh partai-partai nonkoalisi pemerintah, PKS dan Demokrat. PKS dan Demokrat kompak menilai amandemen tidak diperlukan.
Lihat juga video 'Gaduh Wacana Amandemen Usai PAN Merapat ke Jokowi':