Kecaman untuk Hal Meringankan Vonis Juliari
Namun tetap saja kecaman tak terhindarkan. Kecaman yang disuarakan para aktivis antikorupsi itu menilai hakim seharusnya tidak meringankan hukuman Juliari, apalagi karena dasar alasan hinaan dari publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang menilai seharusnya hakim tak perlu meringankan sanksi untuk Juliari hanya karena dihina masyarakat. Boyamin Saiman selaku koordinator MAKI membandingkan soal kondisi serupa yang dialami eks Ketua DPR yang juga eks Ketum Partai Golkar, Setya Novanto. Novanto, yang menjadi terdakwa kasus korupsi e-KTP, pun pernah mendapatkan hinaan dari publik.
"Saya juga mengkritisi alasan itu bahwa Juliari sudah di-bully. Ya semua koruptor di-bully, jadi mestinya tidak perlu ada pertimbangan itu hal yang meringankan," kata Boyamin Saiman kepada wartawan, Senin (23/8/2021).
"Meringankan ya bahwa dia belum pernah dihukum dan menjadi kepala keluarga, itu saja cukup. Nggak usah ditambahi bahwa dia di-bully, semua koruptor di-bully. Dan apakah dulu Setya Novanto di-bully itu menjadi faktor meringankan? Kan nggak juga," imbuh Boyamin.
Ada pula dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai alasan tersebut mengada-ada. Kurnia mengatakan makian hingga hinaan yang didapat Juliari merupakan hal wajar. Terlebih Juliari melakukan korupsi dalam kondisi pandemi COVID-19.
"Alasan meringankan yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor kepada Juliari P Batubara terlalu mengada-ada. Betapa tidak, majelis hakim justru menyebutkan Juliari telah dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Senin (23/8/2021).
"Ekspresi semacam itu merupakan hal wajar, terlebih mengingat dampak yang terjadi akibat praktik korupsi Juliari. Bayangkan, praktik suap menyuap itu dilakukan secara sadar oleh Juliari di tengah kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat ambruk karena pandemi COVID-19," kata Kurnia.
Dia menilai makian dan hinaan yang diterima Juliari tidak sebanding dengan penderitaan masyarakat. Sebab, akibat korupsi tersebut, masyarakat menjadi kesulitan mendapatkan bansos.
"Cercaan, makian, dan hinaan kepada Juliari tidak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan masyarakat karena kesulitan mendapatkan bansos akibat ulah mantan Menteri Sosial dan kroni-kroninya," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai hukuman tersebut tak sebanding dengan jumlah korupsi yang dilakukan Juliari. Feri mengatakan, untuk membuat koruptor jera, perlu diberi sanksi maksimal. Sanksi pidana maksimal yang dimaksudnya ialah hukuman penjara 20 tahun atau seumur hidup.
"(Vonis) 12 tahun bui tidak sebanding dengan kerugian keuangan Rp 32 miliar yang dikorupsi. Belum lagi ini bukan tidak mungkin dilanjutkan banding dan kasasi yang trennya berpihak pada koruptor," ujar Feri kepada wartawan, Senin (23/8/2021).
"Jika ingin membuat koruptor jera terutama penyelenggara negara maka sanksi pidananya harus tegas 20 tahun atau seumur hidup," tuturnya.
"Kalau terbukti, kenapa pemberatan di masa pandemi tidak menyebabkan sanksi keras?" sambungnya.
(dhn/haf)