"Kemerdekaan menuntut tanggung jawab untuk meneruskan cita-cita para pendiri bangsa melalui implementasi kemanusiaan, persatuan, musyawarah, keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat," katanya dalam keterangannya, Rabu (18/8/2021).
Saat membuka diskusi bertema 'Tantangan Kebangsaan 76 Tahun Indonesia Merdeka' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, ia menyebut mengisi kemerdekaan tak hanya dengan seremoni peringatan, tetapi memaknai secara menyeluruh dan khidmat melalui kontemplasi akan perjalanan bangsa dengan segala pencapaian dan tantangan yang ada.
Menurut wanita yang akrab disapa Rerie ini, disrupsi dan pandemi yang terjadi saat ini justru semakin mewarnai perjalanan bangsa dalam mengisi kemerdekaan.
"Sehingga pekerjaan rumah saat ini adalah bagaimana kita bisa survive mengatasi sejumlah tantangan yang saat ini ada di depan mata," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Kopri PB PMII, Maya Muizatil Lutfillah mengungkapkan kemerdekaan bisa dimaknai sebagai kebebasan, kedaulatan, kemandirian, edukasi dan sumber hukum. Hal ini yang menjadi stimulus terbentuknya instrumen untuk mengisi kemerdekaan.
Lebih lanjut Maya mencontohkan makna di sektor edukasi dari kemerdekaan untuk menghasilkan organisasi pelajar yang mampu berperan aktif dalam merebut kemerdekaan.
Di sisi lain, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat menilai Indonesia relatif lebih baik ketimbang Afganistan yang setelah ditinggal Amerika Serikat terancam perpecahan antarsuku di sana. Komaruddin menjelaskan meski Indonesia terdiri dari banyak suku namun berhasil bersatu dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Dengan berdirinya Republik Indonesia, kita bisa sejahtera dan maju untuk menjawab beban bersama dalam mengisi kemerdekaan," jelasnya.
Melihat keberagaman di Indonesia, ia mengatakan tak ada sistem politik yang lebih baik dari demokrasi.
"Namun, demokrasi hingga saat ini belum mampu mendekatkan kepada kesejahteraan dan keadilan. Bahkan praktik demokrasi di Indonesia menciptakan oligarki di sektor politik," tuturnya.
"Seharusnya, untuk menghindari terjadinya oligarki di bidang politik, partai politik wajib memiliki akar yang kuat di masyarakat dan ke atas punya komitmen kuat dalam membangun bangsa dan negara," lanjutnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama mengatakan saat ini kondisi pengendalian COVID-19 di Tanah Air masih fluktuatif. Agar mengetahui kepastian upaya pengendaliannya, maka dibutuhkan proses diagnosis, ketersediaan obat serta pelaksanaan vaksinasi yang baik.
"Bila ada cara mendiagnosa, pengobatan dan vaksinasi yang mudah, murah dan cepat, baru bisa dipastikan kapan kita bisa mengendalikan penyebaran COVID-19," katanya.
Diungkapkannya Indonesia seakan masih dalam lorong yang gelap, dan belum terlihat ujung cahaya dalam proses pengendalian COVID-19.
Sementara itu, Guru Besar Manajemen FEB Universitas Airlangga, Badri Munir Sukoco menyatakan bila ingin tumbuh cepat menuju transformasi menuju Indonesia maju 2045, diperlukan sejumlah sektor di bidang ekonomi yang bisa tumbuh di atas 10%. Dengan begitu berbagai upaya yang dilakukan untuk menopang pertumbuhan ekonomi bisa lebih fokus.
Badri juga mengajak Indonesia untuk belajar dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Yaitu dengan membangun jenis-jenis usaha yang berorientasi masa depan, seperti green economy dan produk kesehatan untuk menopang pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia maju 2045.
Di samping itu, menurutnya Indonesia juga bisa meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan nilai tukar petani lewat pengembangan produk-produk pertanian organik.
"Tanpa upaya tersebut dan tetap bertani secara tradisional nilai tukar petani Indonesia akan tetap rendah," katanya.
Di sisi lain, Pengamat Pertahanan Keamanan, Connie Rahakundini Bakrie melihat tantangan di sektor pertahanan bagi Indonesia di usia kemerdekaan yang ke 76 tahun yang akan berfokus pada perkembangan keamanan kawasan Indo Pasifik.
Ia menilai sikap politik luar negeri Indonesia yang memilih untuk tidak masuk dalam blok mana pun atau non-blok harus ditinjau ulang. Karena di era globalisasi sulit untuk tidak berpihak dan bekerja sama, terutama dalam menghadapi tantangan di bidang pertahanan dan keamanan suatu kawasan.
Selain itu, dalam membangun sektor pertahanan nasional, Connie mengatakan Indonesia harus memiliki kesadaran lingkungan sehingga paham atas kemampuannya dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman. Ri harus mampu mengelola lingkungan dan membangun intelektual guna meningkatkan daya saing bangsa.
Sementara itu, Kepala Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis LPPM Universitas Negeri Jakarta, Dianta Sebayang menjelaskan megatrend dunia ikut mengubah berbagai tatanan di sejumlah sektor, dan perilaku masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Untuk itu, diperlukan transformasi ekonomi agar ekonomi pulih dan RI bisa keluar dari middle income trap.
Selain itu, juga harus dilakukan transformasi sistem pendidikan dalam rangka mengonsolidasikan sumber daya manusia (SDM) dengan lapangan usaha.
"Langkah itu, diharapkan mampu meningkatkan produktivitas masyarakat yang ujungnya mendorong pertumbuhan perekonomian nasional," ujarnya.
Jurnalis senior, Saur Hutabarat menilai meski bangsa Indonesia sudah merdeka, namun belum mampu menegakkan disiplin. Padahal, lanjut Saur, disiplin merupakan tulang punggung dari keadaban. Di masa pandemi menurutnya sikap disiplin harus dijunjung tinggi karena tanpa sikap disiplin, Indonesia tidak akan mampu keluar (ega/ega)