Pro Kontra Fenomena Memilih Tak Punya Anak

Round-Up

Pro Kontra Fenomena Memilih Tak Punya Anak

Tim detikcom - detikNews
Selasa, 17 Agu 2021 21:06 WIB
little girls bare feet in the grass. little girl running  at sunset little girls bare feet in the grass. little girl running  at sunset
Ilustrasi anak (Foto: Getty Images/iStockphoto/Lolkaphoto)
Jakarta -

Fenomena pasangan suami-istri yang memilih tak mempunyai anak menjadi perbincangan. Sebagian berpendapat hal itu menyalahi kodrat dan sebagian lain menghormati pilihan tersebut dengan dalih hak asasi wanita.

Perbincangan mengenai fenomena pasangan suami-istri memilih tak mempunyai anak ini mengemuka setelah muncul pernyataan dari YouTuber Gita Savitri. Dia sempat bicara soal alasannya memilih tidak memiliki anak bersama pasangannya. Menurutnya, memiliki anak atau tidak itu adalah sebuah pilihan dalam hidup.

"Kak, kalau seandainya tiba-tiba dikaruniai anak, gimana perasaannya?" tanya seorang warganet.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di kamus idup gue, 'tiba-tiba dikasih' is very unlikely (sangat tidak mungkin)," ujar Gita Savitri dalam sebuah unggahan Instagram Stories.

"IMO (menurut pendapatku) lebih gampang nggak punya anak daripada punya anak. Karena banyak banget hal preventif yang bisa dilakukan untuk tidak punya anak," ujar YouTuber yang kini masih tinggal di Jerman tersebut.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, memiliki anak adalah tanggung jawab yang besar. Dia berpendapat sebaiknya harus ada rencana yang matang sebelum memutuskan memiliki anak. Istri Paul Andre Partohap ini juga mengaku sadar pilihannya bakal menimbulkan pro dan kontra.

Pandangan Ketua MUI

Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Abdullah Jaidi turut menyoroti fenomena pasangan suami-istri tidak mempunyai anak. Jaidi menyebut hal itu merupakan hak pasangan.

"Dari sudut pandang hak pasangan suami-istri, itu adalah hak mereka," kata Abdullah Jaidi kepada wartawan, Senin (16/8) malam.

Namun, katanya, hal itu akan salah jika dilihat dari sudut pandang Islam. Menurutnya, memilih tidak memiliki anak menyalahi kodrat perkawinan.

"Tetapi dalam sudut pandang Islam menyalahi kodrat kemanusiaan dalam perkawinan. Apabila kodrat ini tidak dilaksanakan, akan timbul kekosongan jiwa dan kestabilan rumah tangga," ujarnya.

Abdullah menyebut Allah mengatur rezeki setiap pasangan serta keturunannya. Menurut Abdullah, anak merupakan pelipur hati dan penyeimbang kehidupan.

"Keturunan justru menjadi pelipur hati dan penyeimbang kehidupan. Inilah sunnatullah bagi hamba-hamba-Nya. Barang siapa melawan sunnatullah ini, pasti akan berakibat pada ketidakstabilan hidupnya," ujar Abdullah

"Jasa seorang ibu yang memiliki anak dan mendidiknya dijamin surga oleh Allah SWT. Karena surga berada di bawah telapak kaki ibu. Suasana menyusui adalah belahan kasih sayang ibu yang akan mengantarkan kasih sayang Allah SWT kepada ibu tersebut," lanjutnya.

Pandangan Sekum Muhammadiyah

Sementara itu, Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebut memilih tidak memiliki anak menunjukkan sikap hedonis dan egoistis seseorang.

"Memilih tidak mau menjadi ibu merupakan sikap hedonis, egoistis, dan tidak bertanggung jawab terhadap masa depan generasi dan regenerasi suatu bangsa dan keberlangsungan kehidupan umat manusia," ujar Abdul Mu'ti kepada wartawan, Senin (16/8) malam.

Mu'ti mengingatkan, menikah, berkeluarga, dan memiliki anak merupakan fitrah manusia. Dalam sudut pandang Islam, berkeluarga adalah sunah Nabi.

"Di dalam Islam, berkeluarga merupakan sunah Nabi dan bagian dari proses regenerasi dan membangun masyarakat yang kuat. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang berkeluarga dan memiliki anak hidupnya lebih tenang dan berbahagia," ucapnya.

Mu'ti menyebut fenomena pasangan yang tidak mau memiliki anak bukan merupakan hal baru. Fenomena ini, katanya, sudah menimbulkan berbagai masalah di sejumlah negara.

"Di banyak negara, keputusan tidak berkeluarga atau berkeluarga tetapi tidak mau memiliki anak telah menjadi masalah demografi seperti degenerasi, ketenagakerjaan, dan masalah-masalah sosial. Di beberapa negara seperti Jepang dan negara-negara Skandinavia banyak orang tua yang kehidupannya bergantung kepada negara karena tidak ada anak atau anggota keluarga yang mengasuh," sebut Mu'ti.

"Jadi, walaupun tidak punya anak dan tidak menikah merupakan pilihan pribadi, tapi dalam jangka panjang bisa menjadi masalah sosial bagi bagi yang bersangkutan maupun negara,' lanjutnya.

Tanggapan Komnas Perempuan

Tanggapan juga datang dari Komnas Perempuan. Menurut Komnas Perempuan, keputusan memiliki atau tidak memiliki anak merupakan hak asasi wanita.

Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, awalnya bicara soal tubuh perempuan sebagai milik perempuan. Dia mengatakan pemaksaan kehamilan merupakan kekerasan terhadap perempuan.

"Tubuh perempuan bukanlah milik laki-laki atau keluarga pihak laki-laki dan tujuan pernikahan bukanlah semata reproduksi. Pemaksaan kehamilan merupakan bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan," ujar Rainy Hutabarat kepada wartawan, Senin (16/8/2021) malam.

Menurut Rainy, saat ini makin banyak jumlah perempuan yang memilih tidak memiliki anak dengan alasan-alasan tertentu. Di Eropa, katanya, ada subsidi negara bagi perempuan yang mau melahirkan anak.

"Namun, keputusan memiliki anak merupakan hak asasi perempuan. Pasangan atau suami tak berhak memaksa berapa jumlah anak dalam pernikahan berdasarkan kemauannya sendiri. Kesepakatan dengan perempuan yang menjadi pasangannya penting karena perempuan memiliki otonomi atas tubuh atau rahimnya," jelas Rainy.

Rainy menjelaskan keputusan memiliki atau tidak memiliki anak memiliki nilai plus dan minusnya sendiri. Tidak ada pilihan yang dinilainya sebagai pilihan terbaik.

"Mereka menjadi pasangan yang dewasa dan tua bersama di dalam kasih sayang walau tak memiliki anak. Perlu diingat juga, ada pasangan suami-istri yang tak memiliki anak karena mengalami hambatan kesehatan," jelas Rainy.

Rainy kemudian bicara soal keputusan tidak memiliki anak dari sudut pandang agama dan budaya. Di Indonesia, katanya, banyak budaya yang memandang pentingnya memiliki anak biologis dalam pernikahan.

"Hal ini terkait paut dengan keberlanjutan keturunan, marga atau nama orang tua dan ahli waris. Orang Batak mengatakan, 'Anakkon hi do hamoraon di ahu' (anak bagiku merupakan kekayaan). Sering pula kita mendengar ucapan 'Anak adalah titipan Allah yang harus dijaga' atau 'Anak adalah amanah dari Allah'. Bagi masyarakat, demikianlah nilai anak dalam pernikahan," kata Rainy.

Halaman 2 dari 2
(knv/dwia)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads