Jakarta -
Komnas HAM mengumumkan hasil kajian dari laporan yang diajukan Novel Baswedan dkk terkait polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Hasil kajian itu, Komnas HAM menyimpulkan ada 11 pelanggaran hak asasi hingga rekomendasi kepada Presiden Jokowi.
Awalnya Novel Baswedan bersama perwakilan 75 pegawai yang tak lulus TWK menyambangi Komnas HAM pada Senin (24/5) untuk melaporkan terkait dugaan pelanggaran HAM dalam proses TWK. Sebanyak 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK itu sebagian merupakan penyidik yang memegang kasus-kasus besar di KPK. Salah satunya Novel Baswedan.
Novel menilai proses TWK tak wajar. Menurutnya, hal itu merupakan upaya yang sistematis untuk menyingkirkan orang yang bekerja baik untuk negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bahaya, maka sikap kami jelas: kami akan melawan!," tegasnya.
Sementara itu, hari ini Komnas HAM menyampaikan hasil dari penyelidikan terkait proses TWK KPK. Hal itu disampaikan Komnas HAM dalam konferensi pers bertajuk 'Laporan Tim Penyelidikan Komnas HAM RI atas Dugaan Pelanggaran HAM dalam Alih Status Pegawai KPK melalui Asesmen TWK'.
Komnas HAM menyampaikan ada 9 temuan dalam proses pengalihan status pegawai KPK, dari temuan tersebut disimpulkan ada pelanggaran 11 hak asasi. Berikut ini fakta-fakta temuan Komnas HAM.
Komnas HAM: Pegawai Tak Lolos TWK KPK Diduga Kuat Distigma Taliban
Komnas HAM mengumumkan hasil kajian dari laporan yang dilakukan Novel Baswedan dkk terkait polemik tes wawasan kebangsaan (TWK). Komnas HAM menemukan temuan pegawai KPK yang tidak lolos TWK diduga kuat karena stigma taliban.
Komnas HAM menyampaikan telah memeriksa sejumlah pihak terkait dan ahli terkait dalam proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN. Komnas HAM juga membandingkan dokumen-dokumen dan notulensi rapat dengan keterangan saksi yang terkait proses pengalihan status pegawai tersebut.
"Berdasarkan serangkaian hasil penyelidikan tim pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM RI merumuskan sejumlah substansi fakta dan temuan yang dapat disimpulkan, pertama proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan latar belakang tertentu khususnya mereka yang terstigma atau terlabel taliban," kata Komisioner Komnas HAM M, Choirul Anam, dalam konferensi pers, Senin (16/8/2021).
Kedua, Komnas HAM juga menyimpulkan pelabelan atau sitgmatisasi taliban kepada pegawai KPK yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik faktual maupun hukum adalah bentuk pelanggaran HAM.
"Pelabelan taliban di dalam internal KPK sengaja dikembangkan dan dilekatkan kepada pegawai KPK dengan latar belakang tertentu sebagai bagian dari identitas maupun praktik tertentu, nyatanya stigma atau label tersebut sangat erat kaitannya dengan aktivitas kerja profesional pegawai KPK. Tidak hanya itu label ini juga melekat pada pegawai KPK yang tidak bisa dikendalikan, padahal karakter kelembagaan KPK atau internal KPK menuju pada kode etik lembaga justru memberikan ruang untuk bersikap kritis dalam melakukan kontrol internal maupun kerja kerja penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," ujarnya.
Ketiga Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pembebas tugasan KPK yang mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui alih status asesmen TWK.
"Penggunaan stigma dan label taliban menjadi basis dasar pemutusan hubungan kerja melalui proses alih status pegawai KPK menjadi ASN nyata terjadi," ujar Anam.
Anam mengatakan hal ini terlihat dari perubahan mandat dan substansi alih status dari pengangkatan menjadi pengalihan hingga akhirnya disepakati jadi asesmen atau seleksi dalam dinamika diskursus pembentukan Perkom KPK Nomor 1/2021 yang menjadi pedoman tata cara pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN.
"Tujuannya menyingkirkan atau menyaring pegawai dengan label dan stigma dimaksud dari proses perencanaan membentuk Perkom, kerja sama dengan BKN, pembiayaan, menentukan metode pihak yang terlibat, asesor asesmen, hingga penyusunan jadwal pelaksanaan," ujarnya.
Kemudian Komnas HAM juga menyoroti tentang penyelenggaraan asesmen yang tidak transparan, diskriminatif, dan terselubung, serta dominasi pihak tertentu dalam penetapan hasil TMS dan MS hingga pasca-penyelenggaraan yang juga tidak terbuka.
"Pengunguman hasil yang menimbulkan ketidakpastian pembebasan tugasan pegawai yang TMS hingga pemilihan waktu pelantikan 1 Juni yang merupakan hari lahir Pancasila, padahal mekanisme alih status terhadap pegawai KPK sebagai konsekuensi dari perubahan UU KPK nomor 19/2019 cukup melalui administratif adjustment," katanya.
Berikut ini substansi fakta temuan Komnas HAM:
1. Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan pada 1 Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan background tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban.
2. Pelabelan atau stigmatisasi Taliban terhadap pegawai KPK yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebenarnya, baik faktual maupun hukum, sebagai bentuk pelanggaran HAM. Stigmatisasi maupun pelabelan terhadap seseorang merupakan salah satu permasalahan serius dalam konteks hak asasi manusia.
3. Telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pegawai KPK melalui alih status dalam asesmen TWK. Penggunaan stigma dan label Taliban menjadi basis dasar pemutusan hubungan kerja melalui proses alih status pegawai KPK menjadi ASN nyata terjadi.
4. Penyelenggaraan asesmen TWK dalam proses alih status pegawai KPK tidak semata-mata melaksanakan perintah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang merupakan revisi dari Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 dan PP Nomor 41 Tahun 2020, namun memiliki intensi lain. Revisi UU tersebut digunakan sebagai momentum untuk meneguhkan keberadaan stigma dan label tersebut di dalam internal KPK.
5. Usulan, atensi, dan intensi penuh Pimpinan KPK dalam proses perumusan, penyusunan, dan pencantuman asesmen TWK dalam Perkom Nomor 1 Tahun 2021, ditambah adanya keputusan di level pimpinan dan/atau kepala lembaga, serta menteri terkait 2 klausul, asesmen TWK dan bekerja sama dengan BKN yang dapat dipahami sebagai bentuk perhatian lebih dan serius dibandingkan substansi pembahasan lain dalam draf Perkom, sebagai proses yang tidak lazim, tidak akuntabel, dan tidak bertanggung jawab.
6. Hal terkait dengan pelaksanaan asesmen TWK:
- Penyelenggaraan teknis asesmen TWK dalam rangka alih status pegawai KPK tanpa dasar hukum yang jelas dan tepat, serta terindikasi melawan hukum.
- Kerja sama BKN dengan pihak ketiga seperti BAIS, Dinas Psikologi AD, BNPT, BIN, dan lembaga yang tidak mau disebut, juga tidak memiliki dasar hukum.
- Penyelenggaraan asesmen TWK yang tidak ideal ditinjau dari sisi keterbatasan (constraint) waktu.
- Penyelenggara asesmen TWK bertindak kurang hati-hati dan cermat dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku dan terjadi pelanggaran kode perilaku asesor.
- Jenis pertanyaan dan indikator penilaian (merah, kuning, hijau) dalam asesmen TWK merupakan persoalan serius dalam HAM karena diskriminatif, bernuansa kebencian, merendahkan martabat, dan tidak berperspektif gender.
- Hasil asesmen TWK berupa penilaian Memenuhi Syarat (MS) dan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tepat.
7. Adanya fakta dan dugaan kuat atas tindakan terselubung dan ilegal dalam pelaksanaan asesmen TWK.
- Dilakukannya profiling lapangan terhadap beberapa pegawai.
- Penggunaan kop surat BKN oleh BAIS untuk tes esai atau DIP (daftar isian pribadi)
8. Pengabaian dan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK dan Arahan Presiden Republik Indonesia secara sadar dan sengaja yang dilakukan oleh KPK secara bersama-sama dengan instansi lain.
9. Kebijakan penyelenggaraan asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK menjadi asesmen tidak memenuhi tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, penyelenggaraan maupun penyelenggara dalam proses asesmen tersebut pun tidak memenuhi prinsip profesionalitas, transparan, dan akuntabilitas.
"Sehingga patut diduga proses tersebut dilakukan secara sewenang-wenang, abuse of power, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bahkan terdapat unsur kesengajaan yang terencana dalam penyelenggaraannya maupun pasca penyelenggaraan," katanya.
"Oleh karena kesimpulan faktual seperti itu maka terdapat berbagai pelanggaran HAM," ungkapnya.
Atas temuan tersebut Komnas HAM menyimpulkan ada 11 pelanggaran hak asasi.
Selengkapnya halaman berikutnya.
Komnas HAM Nyatakan TWK KPK Langgar 11 Hak Asasi
Komnas HAM mengumumkan hasil kajian dari laporan yang dilakukan Novel Baswedan dkk terkait polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Hasilnya, Komnas HAM menyebut proses alih status pegawai KPK dinyatakan melanggar 11 hak asasi.
"Setelah Komnas HAM melakukan pemeriksaan, pendalaman dan analisis ternyata Komnas HAM menemukan keyakinan bahwa suatu yang sepele karena dari perspektif pelanggaran hak asasi manusianya Komnas HAM menemukan ada 11 bentuk pelanggaran HAM dalam kasus ini baik ditinjau dari sisi kebijakan, ditinjau dari tindakan atau perlakuan termasuk juga dari ucapan dalam bentuk pernyataan maupun pernyataan," kata Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI Munafrizal Manan, dalam konferensi pers, Senin (16/8/2021).
Berikut ini 11 bentuk pelanggaran HAM dalam TWK:
1. Hak Atas Keadilan dan Kepastian Hukum
2. Hak Perempuan
3. Hak Bebas dan Diskriminasi (Ras dan Etnis)
4. Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
5. Hak Atas Pekerjaan
6. Hak Atas Rasa Aman
7. Hak Atas Informasi Publik
8. Hak Atas Privasi
9. Hak untuk Berserikat dan Berkumpul
10. Hak untuk Berpartisipasi dalam Pemerintahan
11. Hak Atas Kebebasan Berpendapat
Salah satu pelanggaran yang dilanggar dalam proses TWK tersebut misalnya terkait hak perempuan. Komnas HAM menilai terdapat tindakan yang merendahkan martabat dan melecehkan perempuan dalam proses tersebut.
"Terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak perempuan. Fakta yang diperoleh oleh Komnas HAM menemukan adanya tindakan atau perbuatan yang merendahkan martabat dan bahkan melecehkan perempuan dalam penyelenggaraan asesmen dan itu sebagai bentuk kekerasan verbal dan merupakan pelanggaran atas hak perempuan yang dijamin dalam pasal 49 UU tentang ham dan juga UU no 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi tentang HAM," kata Munafrizal.
Selain itu Komnas HAM menemukan fakta terdapat pertanyaan yang bersifat diskriminatif dan bernuansa kebencian dalam proses asesmen TWK. Hal itu melanggar Pasal 3 ayat 3 UU no 39/1999 tentang HAM, Pasal 9 UU nomor 40/2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan melanggar Pasal 7 UU nomor 11 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Sosial Budaya.
Selain itu, Komnas HAM menemukan pelanggaran atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Komnas HAM menyebut ada hal yang tidak relevan dalam proses tersebut yang melanggar hak atas kebebasan beragama.
"Komnas HAM juga menemukan fakta ada pertanyaan yang mengarah pada kepercayaan dan keyakinan maupun pemahaman terhadap agama tertentu yang sebetulnya itu tidak memenuhi relevansi dengan kualifikasi maupun lingkup pekerjaan pegawai dan ini jelas jelas juga sebagai pelanggaran HAM sebagaimana yang dijamin Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 jo Pasal 18 UU tentang HAM, dan Pasal 18 UU tentang Pengesahan Hak-hak Sipil dan Politik," ujarnya.
Munafrizal memaparkan terjadi juga pelanggaran HAM terkait hak atas pekerjaan. Sebab penonaktifan terhadap 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat tanpa alasan yang sah seperti adanya pelanggaran kode etik atau adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Sehingga pemberhentian ini nyata sebagai pelanggaran hak atas pekerjaan yang juga diatur di UUD 1945 khususnya Pasal 28 d ayat 2, Pasal 38 ayat 2 UU tentang HAM," ujarnya.
Selain itu Komnas HAM juga menemukan adanya pelanggaran HAM atas kebebasan berkumpul dan berserikat. Komnas HAM menyebut pegawai KPK yang tidak lulus TWK itu banyak yang aktif dalam kegiatan wadah pegawai KPK.
"Jadi menyasarnya cenderung pada pegawai yang aktif dalam kegiatan wadah pegawai KPK tersebut, dan ini merupakan pelanggaran HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasal 24 ayat 1 UU 39/1999," ungkapnya.
Atas temuan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden Jokowi memulihkan status pegawai KPK tak lolos TWK.
Selengkapnya halaman berikutnya.
Komnas HAM Minta Jokowi Pulihkan Status Pegawai KPK Tak Lolos TWK
Komnas HAM menyampaikan proses alih status pegawai KPK dinyatakan melanggar 11 hak asasi. Komnas HAM pun merekomendasikan agar Presiden Jokowi memulihkan status pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Kami membuat kesimpulan yang sudah disampaikan pada akhirnya kami menyatakan ada 11 dugaan pelanggaran HAM, dari seluruh proses itu termasuk dugaan-dugaan pelanggaran HAM yang kami lihat terjadi dalam proses TWK KPK ini maka kami kemudian mengeluarkan rekomendasi," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, dalam konferensi pers, Senin (16/8/2021).
Adapun rekomendasi itu sesuai dengan kewenangan UU 39 Tahun 1999, di mana Komnas HAM sebagai lembaga independen dapat memberikan rekomendasi hasil penyidikan pemantauannya. Adapun rekomendasi tersebut akan disampaikan kepada Jokowi secepatnya.
"Rekomendasi yang kami sampaikan terutama pada Bapak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan selaku pejabat pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK," kata Ahmad Taufan Damanik.
Pertama, Komnas HAM merekomendasikan agar Jokowi memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) KPK yang dapat dimaknai sebagai bagian dari upaya menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi yang telah disampaikan kepada publik.
Ahmad Taufan mengatakan hal ini sejalan dengan putusan MK yang menyatakan pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun.
"Mengingat MK berperan sebagai pengawal konstitusi dan hak konstitusional, maka pengabaian atas pertimbangan hukum dalam putusan hukum dapat dimaknai sebagai bentuk pengabaian konstitusi," kata Ahmad.
Berikut ini Rekomendasi dari Komnas HAM terhadap Presiden Jokowi untuk mengambil alih seluruh proses asesmen TWK pegawai KPK dengan:
1. Memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) KPK
2. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses penyelenggaraan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap pegawai KPK
3. Melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh pejabat Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK
4. Perlu adanya penguatan terkait wawasan kebangsaan, hukum, dan hak asasi manusia dan perlunya nilai-nilai tersebut menjadi code of conduct dalam sikap dan tindakan setiap aparatur sipil negara
5. Melakukan pemulihan nama baik pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS)
Atas temuan tersebut, KPK menyampaikan tanggapan.
Selengkapnya di halaman berikutnya.
KPK Jawab Komnas HAM soal TWK Langgar 11 Hak Asasi Pegawai
KPK merespons terkait Komnas HAM yang menyebut pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawainya melanggar hak asasi manusia (HAM). KPK menghormati hasil pemantauan Komnas HAM tersebut.
"KPK menghormati hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM terkait alih status pegawai KPK yang telah disampaikan kepada publik hari ini," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Senin (16/8/2021).
Ali mengatakan KPK belum menerima hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM tersebut. Nantinya, KPK akan mempelajari temuan dan saran Komnas HAM itu.
"Sejauh ini KPK belum menerima hasil tersebut. Segera setelah menerimanya, kami tentu akan mempelajarinya lebih rinci temuan, saran, dan rekomendasi dari Komnas HAM kepada KPK," kata Ali.
Ali menegaskan bahwa proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pada pelaksanaannya pun, KPK telah mengikuti segalanya sesuai dengan peraturan.
"Di awal kami perlu sampaikan bahwa proses alih status pegawai KPK menjadi ASN bukan tanpa dasar, namun sebagai amanat peraturan perundang-undangan yang telah sah berlaku yakni UU Nomor 19 tahun 2019, PP Nomor 41 Tahun 2020, dan Perkom Nomor 1 tahun 2021," katanya.
"Dalam pelaksanaannya KPK pun telah patuh terhadap segala peraturan perundangan yang berlaku, termasuk terhadap putusan MK dan amanat Presiden, yakni dengan melibatkan kementerian/lembaga negara yang punya kewenangan dan kompetensi dalam proses tersebut," sambungnya.
Dia mengatakan pelaksanaan TWK ini juga masih diuji oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konsitusi (MK). Ali berharap semua pihak menunggu keputusan MA dan MK.
"Proses pengalihan pegawai KPK menjadi ASN saat ini juga sedang dan masih menjadi objek pemeriksaan di MA dan MK.
"Sebagai negara yang menjujung tinggi azas hukum, sepatutnya kita juga menunggu hasil pemeriksaan tersebut. Untuk menguji apakah dasar hukum dan pelaksanaan alih status ini telah sesuai sebagaimana mestinya atau belum," katanya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini