Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati membeberkan kemungkinan terburuk akibat perubahan iklim. Mulai dari badai tropis, longsor hingga banjir bandang hingga mencairnya es di puncak Jawa Wijaya, Papua.
Hal itu diungkapkan Dwikorita dalam webinar yang digelar Deputi Bidang Klmatologi, BMKG, Jumat (6/8). Hadir sebagai pembicara dalam webinar tersebut, Agus Justianto Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Christoph Zellwenger dari Global Atmosphere Watch (GAW) World Calibration Centre, dan Martin Steinbacher dari Science Activity Center, Switzerland.
"Pemerintah kabupaten/kota harus mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari bencana alam serta dampak perubahan iklim, seperti kejadian badai tropis, banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang dan kekeringan, yang diprediksi akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih kuat, atau pun mencairnya es di puncak Jaya Wijaya, Papua, yang diprediksi oleh BMKG akan punah di tahun 2025 dan naiknya muka air laut," kata Dwikorita, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dwikorita mendesak pemda untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Hal itu untuk mencegah risiko dan kerugian yang lebih besar.
"Aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim butuh komitmen politik karena harus dimulai dari kepala daerah yang diwujudkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD)," ujarnya.
Menurut Dwikorita, mengatasi persoalan perubahan iklim adalah tugas yang cukup menantang, karena ini membutuhkan komitmen yang kuat dari level pusat hingga daerah, dengan usaha-usaha yang komprehensif dan nyata. Dia mengatakan semua pihak harus menyatukan persepsi kalau perubahan iklim merupakan ancaman yang nyata dan perlu segera dimitigasi.
"Jika komitmen hanya dilakukan satu daerah saja, maka hal tersebut, menjadi kurang berarti. Kita harus membangun persepsi bersama bahwa perubahan iklim ini adalah sebuah kerisauan dan ancaman bersama yang juga harus dimitigasi bersama-sama, karena dampaknya tidak mengenal batas administrasi. Masyarakat juga harus dilibatkan, tidak hanya pemerintah," ujarnya.
Dwikorita membeberkan sejumlah fakta yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di mana suhu tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat meski terjadi La Nina. Selain itu, temperatur rata-rata global permukaan bumi saat ini sudah mencapai 1,2 derajat celcius lebih tinggi dari pada tahun 1850-an.
Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, berdasarkan pengamatan BMKG, tahun 2020 merupakan tahun terpanas kedua dalam catatan. Pengamatan dari 91 stasiun BMKG menunjukkan suhu rata-rata permukaan pada tahun 2020 lebih tinggi 0,7Β°C dari rata-rata periode referensi tahun 1981-2010.
Situasi ini, kata dia, memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi. Salah satunya adalah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi kekeringan yang ekstrem, tetapi juga menyebabkan peningkatan emisi karbon dan partikulat ke udara.
"Saya berharap fakta-fakta ini dapat perhatian kita bersama guna mencegah pemanasan global semakin parah," tutur Dwikorita.
BMKG pun berkomitmen untuk terus meningkatkan kecakapan SDM dan keandalan teknologinya untuk observasi, processing, analisis, prakiraan, prediksi, proyeksi dan peringatan dini, agar tren dan anomali iklim dan cuaca serta potensi kejadian ekstrem dapat terdeteksi lebih dini. Sehingga upaya antisipasi dan mitigasi bersama semua pihak dapat dilakukan secara lebih cepat, tepat, dan akurat.
(eva/zak)