Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengungkapkan bahwa tes wawasan kebangsaan (TWK) diusulkan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Usulan itu disampaikan BKN dalam rapat antara KemenPAN-RB dan BKN.
"Ketentuan mengenai tes wawasan kebangsaan merupakan masukan dari BKN, yang pertama kali disampaikan dalam rapat tanggal 9 Oktober 2020 serta dalam rapat harmonisasi KemenPAN-RB dan BKN, yang meminta tetap ada asesmen wawasan kebangsaan untuk mengukur syarat pengalihan pegawai KPK menjadi ASN mengenai setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah dan tidak setuju pemenuhan syarat tersebut hanya dengan menandatangani surat pernyataan saja," kata anggota Dewas KPK Harjono dalam konferensi pers, di kantor Dewas KPK, Jumat (23/7/2021).
Dewas juga mengatakan laporan adanya dugaan penambahan pasal di Perkom terkait TWK oleh Ketua KPK Firli Bahuri itu tidak benar. Penambahan pasal itu diduga dilakukan saat rapat pada 25 Januari 2021.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari fakta itu sehingga tidak benar, dugaan pasal TWK merupakan pasal yang ditambahkan saudara Firli Bahuri dalam rapat tanggal 25 Januari 2021," kata Harjono.
Karena laporan Novel Baswedan dkk dinyatakan tidak memiliki bukti cukup maka laporan dugaan pelanggaran kode etik tidak dilanjutkan ke sidang etik. Laporan dugaan pelanggaran etik terkait TWK itu kini tidak lagi diproses Dewas KPK.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sebagaimana dilaporkan melanggar nilai integritas pasal 4 ayat 1 huruf a Perdewas nomor 2 tahun 2020, tidak cukup bukti," ujar Harjono.
Diketahui, Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK lainnya yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) melaporkan seluruh pimpinan KPK ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Para pimpinan itu dilaporkan karena diduga melanggar kode etik.
Pelaporan itu dilakukan karena ada tiga hal, yang pertama soal kejujuran soal TWK. Pasalnya, pimpinan KPK pada awalnya mengatakan tidak ada konsekuensi dari TWK, tapi akhirnya keputusan itu berakhir beda.
Alasan yang kedua adalah soal pertanyaan yang ada di TWK, yang dinilai melecehkan perempuan. Menurut mereka, hal ini tidak sewajarnya terjadi dan hal ini menyangkut integritas suatu lembaga negara.
Lanjut yang ketiga adalah soal kesewenangan pimpinan KPK terhadap putusan MK soal TWK tidak boleh merugikan pegawai. Namun nyatanya hal itu malah terjadi dan tidak sesuai dengan SK 652 soal penonaktifan pegawai.
(zap/zap)