Pengusaha WNI hasil naturalisasi Korea Selatan (Korsel) Lee Sang Hyun menggugat Pasal 76 ayat 1 dan 2 KUHP dan UU HAM ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lee tidak terima dirinya mendapat dua kali proses hukum atas peristiwa yang sama sehingga dinilai melanggar asas nebis in idem.
Kasus bermula saat Lee berselisih paham dengan rekan bisnisnya. Lee kemudian dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri dengan perkara dugaan tindak pidana membuat surat palsu dan/atau penipuan/perbuatan curang dan/atau penggelapan dalam jabatan dan/atau pencucian uang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 378 KUHP. Lee juga dilaporkan dengan Pasal 374 KUHP juga Pasal 3, 4, 5, 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Laporan yang berlapis dan membuatnya diproses hukum lebih dari sekali dinilai tidak adil. Lee memohon MK memberikan keadilan atas apa yang dialaminya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemohon sebagai warga negara Indonesia atas dasar perlakuan dan pengalaman yang pernah disangka 2 (dua) kali, didakwa dan dituntut 2 (dua) kali, dipenjara/ditahan 2 (dua) kali serta disidangkan 2 (dua) kali dengan dasar laporan polisi yang sama, pelapor yang sama serta tempus, locus delicti yang sama pula, tentu saja merasakan adanya kekhawatiran karena akan sangat berpotensi sekali pemohon diperlakukan hal yang serupa, yakni akan disangka, didakwa dan dituntut dan dilakukan penahanan serta disidangkan berkali-kali sesuai selera penyidik maupun jaksa penuntut umum," kata kuasa hukum Lee, Sunggul Hamonangan Sirait, sebagaimana dilansir website MK, Jumat (23/7/2021).
Sunggul menambahkan tidak adanya kejelasan dalam penegakan hukum sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU HAM terjadi akibat pergeseran nilai-nilai perihal asas nebis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) UU HAM. Lebih lanjut ia menjelaskan, asas nebis in idem adalah prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana di berbagai negara yang menganut sistem Eropa Kontinental. Sedangkan di beberapa negara yang menganut sistem common law dikenal dengan asas double jeopardy, yang pada prinsipnya bahwa seseorang tidak dapat dituntut dua kali untuk tindak pidana yang sama.
"Dalam penegakan hukum jangan sampai pemerintah berulang ulang membicarakan tentang peristiwa pidana yang sama, sehingga dalam suatu peristiwa pidana ada beberapa putusan-putusan yang kemungkinan akan mengurangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya. Pemberlakuan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, serta Pasal 18 ayat (5) UU 39/1999 tidak melindungi warga negara yang dijadikan sebagai terlapor, tersangka, dan terdakwa, karena pasal dalam undang undang tersebut memberikan peluang kepada pemegang kekuasaan seperti yang dimiliki oleh penyidik, jaksa penuntut umum, hakim untuk menyidik, mendakwa dan menuntut, melakukan penahanan dan perpanjangan penahanan serta menyidangkan berkali kali atas perbuatan yang sama dan locus delicti yang sama sesuai selera penyidik maupun jaksa penuntut umum dan hakim dengan alasan belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje)," terang Sunggul.
Untuk itu, dalam petitumnya, Lee meminta agar MK menyatakan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) HAM bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, pemohon meminta agar Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP serta Pasal 18 ayat (5) UU HAM dianggap diperlukan dalam pertimbangan hukum di Indonesia agar frasa 'putusan yang menjadi tetap' atau 'putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap' dinyatakan dihapus.
"Memohon agar dilakukan pembatasan-pembatasan yang sangat ketat atas keberlakuan pasal dimaksud agar tidak ditafsirkan dan diberlakukan sesuai dengan selera penyidik sehingga pasal itu tidak melanggar atau bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945, serta adanya kepastian hukum bagi setiap orang khususnya Pemohon yang sedang berhadapan dengan hukum," tandas Sunggul.
Menanggapi permohonan Lee, hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyoroti mengenai kewarganegaraan Lee. Menurutnya, kuasa hukum harus memastikan kembali proses naturalisasi kewarganegaraan Lee sebagai syarat memenuhi kedudukan hukum dalam permohonan sebagai WNI.
"Jadi begini, soal berapa tahun kami tidak terlalu penting. Nanti tolong dilampirkan saja, apakah prosedur dan proses untuk naturalisasi itu sesuai dengan prosedur atau tidak. Itu saja sebenarnya yang ingin kami tahu. Nanti tolong dilengkapi, untuk memperkuat legal standing juga," kata Daniel.
MK memberikan waktu 14 hari ke depan untuk memperbaiki permohonannya.
(asp/knv)