Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo awalnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada tengah malam di Bandara Soekarno-Hatta sepulang dari San Fransisco, Amerika Serikat. Edhy saat itu diamankan bersama sejumlah orang termasuk istrinya Iis Rosita Dewi.
Setelah itu, KPK akhirnya menetapkan Edhy sebagai tersangka bersama 6 orang lainnya karena diduga menerima suap terkait ekspor benih bening lobster (BBL). 6 orang itu di antaranya mantan staf Edhy Prabowo, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi; staf istri Edhy Prabowo, Faqih; serta sespri Edhy Prabowo, Amiril Mukminin, sebagai tersangka penerima suap.
Selanjutnya, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP), Suharjito, sebagai penyuap Edhy juga ditetapkan sebagai tersangka. Saat itu Edhy menunjuk Andreu dan Safri sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence).
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut kasus ini bermula ketika Edhy menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Saat akhir November 2020, KPK memang sudah mengintai adanya penerimaan uang oleh penyelenggara negara. Edhy disebut melakukan belanja mewah di Hawaii, Amerika Serikat.
"Informasi adanya transaksi pada rekening bank yang diduga sebagai penampung dana dari beberapa pihak yang sedang dipergunakan bagi kepentingan Penyelenggara Negara untuk pembelian sejumlah barang mewah di luar wilayah Indonesia," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam jumpa pers dari Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (25/11/2020).
Awal Oktober 2020, Suharjito datang ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk bertemu Safri. PT DPP hendak menjadi eksportir benur. Untuk mengekspor benur, maka syaratnya harus melalui PT Aero Citra Kargo (PT ACK). PT ACK ini bertindak sebagai 'forwarder' benur dari dalam negeri ke luar negeri.
"Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp 1800/ekor," kata Nawawi Pomolango.
Supaya diterima sebagai eksportir benur, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp 731.573.564. Pada bagian ini inilah KPK menemukan modus rekening penampung. Uang yang dikirim ke rekening tersebut yang kemudian dibelanjakan di Hawaii.
Pada 5 November 2020, terdapat transfer dari PT ACK melalui rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih (staf istri Edhy) sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy Prabowo, istrinya bernama Iis Rosyati Dewi, stafsus Edhy bernama Safri, dan stafsus Edhy bernama Andreau Pribadi Misanta. Duit Rp 3,4 miliar itu dipakai belanja-belanja di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS) dengan membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy dengan total sekitar Rp 750 juta.
Ahmad Bahtiar selaku Komisaris PT ACK diduga mentransfer uang ke salah satu rekening atas nama Ainul Faqih selaku staf istri Menteri Edhy Prabowo, Iis Rosyati Dewi, senilai Rp 3,4 M. Uang tersebut diduga diperuntukkan buat keperluan Edhy Prabowo, Iis Rosyati, Safri, dan Andreau Pribadi dengan rincian sebagai berikut:
1. Penggunaan belanja oleh Edhy Prabowo dan Iis Rosyati pada 21-23 November sekitar Rp 750 juta berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, serta baju Old Navy.
2. Uang dalam bentuk USD 100 ribu dari Suharjito yang diterima Safri dan Amiril Mukminin.
3. Safri dan Andreau menerima uang sebesar Rp 436 juta.
Hingga proses persidangan, Edhy Prabowo dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy Prabowo diyakini jaksa terbukti menerima uang suap yang totalnya mencapai Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur.
Baca selengkapnya di halaman berikutnya
(zap/dhn)