Hukum pernikahan di Indonesia mengenal beberapa sistem. Seperti pernikahan secara adat, secara agama, dan secara hukum negara. Nah, apa untung dan ruginya bila nikah hanya secara agama/siri?
Hal itu ditanyakan salah seorang pembaca detik's Advocate lewat surat elektronik. Berikut pertanyaannya:
Pak, mau tanya. Apakah nikah siri itu baik? Jadi hanya sah secara hukum agama saja. Pernikahan secara Buddha. KTP Buddha-Kristen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk urus ke Kantor Catatan Sipil, bagaimana jika KTP beda agama? Kalau salah satu tidak pindah agama, apakah bisa jadi menikah sah secara hukum sipil beda agama? Apakah bisa seperti itu?
S
Jakarta
Untuk menjawab permasalahan di atas, kami menghubungi advokat Rusdianto Matulatuwa, SH. Berikut pendapat hukumnya:
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk kesekian kalinya kepada penulis pada kesempatan untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada di dalam benak dan pemikiran pembaca detik's Advocate, karena idealnya fungsi advokat dalam praktik bukan hanya menangani proses litigasi, namun juga harus mampu melakukan edukasi kepada masyarakat yang awam tentang hukum.
1. Bahwa pernikahan siri ini lebih dikenal dalam persoalan agama Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa pernikahan siri ini tidaklah dikenal dalam terminologi dalam konteks selain Agama Islam, karena makna dari kalimat siri dalam bahasa Arab adalah sirrun itu adalah rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sehingga perkawinan tersebut adalah perkawinan yang bersifat dirahasiakan, problematikanya dalam perkawinan siri ini sepanjang memenuhi seluruh ketentuan dari rukun dan syarat sahnya perkawinan yang dianut oleh agama Islam dapat dikatakan sebagai suatu pernikahan yang sah (secara hukum Agama Islam) di mana bila salah satu saja dari rukun dan syarat sah nikah tidak terpenuhi membuat perkawinan tersebut menjadi batal tentu hal ini apabila dikaitkan dengan Pasal 2 (ayat 1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu
Menurut hemat penulis adalah harus ada alasan yang sangat kuat dan dapat dipertanggungjawabkan ketika hendak memutuskan akan melakukan perkawinan secara siri. Karena pernikahan siri yang secara agama dianggap sah, pada kenyataannya justru memunculkan banyak sekali permasalahan yang berimbas pada kerugian, khususnya dari sisi pihak perempuan.
Nikah siri sering diambil sebagai jalan pintas pasangan untuk bisa melegalkan hubungannya, meski tindakan tersebut pada dasarnya adalah pelanggaran UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada dasarnya pernikahan siri dilakukan karena ada hal-hal yang dirasa tidak memungkinkan bagi pasangan untuk menikah secara formal.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri, semua alasan tersebut mengarah kepada pernikahan siri dipandang sebagai jalan pintas yang lebih mudah untuk menghalalkan hubungan suami-istri.
Problem yang menyertai pernikahan siri yang paling nyata adalah problem hukum khususnya bagi perempuan, tapi juga problem internal keluarga, problem sosial dan psikologis yang menyangkut opini publik yang menimbulkan tekanan batin, problem agama yang perlu mempertanyakan lagi keabsahan nikah siri yang akhir-akhir marak terjadi di Indonesia.
Dampak pernikahan siri bagi perempuan adalah secara hukum, istri tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak mendapat warisan jika suami meninggal, tidak berhak mendapat harga gono-gini bila terjadi perpisahan, dampak tersebut juga berlaku bagi anak kandung hasil pernikahan siri diakibatkan perkawinan tersebut tidak dapat dicatatkan oleh negara sesuai dengan Pasal 2 (Ayat 2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Bila hal pengurusan yang dimaksud dalam pertanyaan ini adalah dalam rangka hanya melakukan pencatatan perkawinan melalui catatan sipil dikaitkan masih terdapatnya KTP yang berbeda agama tentu hal tersebut tidak menjadi masalah, sebab apabila ketentuan Pasal 2 (Ayat 1) Undang-Undang Perkawinan telah dilaksanakan dengan sempurna maka peristiwa hukumnya telah terlaksana dengan konkret, selayaknya Pasal 2 (ayat 2) Undang-Undang Perkawinan haruslah dilayani oleh Petugas Pencatatan Sipil tanpa harus melihat dari pencantuman agama yang berbeda dari sisi KTP.
Sebab, kebutuhan KTP dalam pencatatan hanya sebagai syarat administrasi karena untuk melakukan perubahan KTP juga pasti memakan waktu jika harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan dengan pencatatan perkawinan tersebut. Di sisi lain juga hal ini sangat dibutuhkan pemahaman yang sinergis pada wilayah petugas pencatatan sipil itu sendiri.
Lihat juga video 'Kata Putri Delina dan Jeffry Reksa soal Pacaran Beda Agama':
3. Bahwa dalam UU Perkawinan yang masih menjadi hukum positif di negara Indonesia sampai saat ini tidak mengenal Perkawinan berbeda agama karena hal ini tercermin ketika pasal tentang Perkawinan Berbeda Agama ini pernah diuji di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor: 68/PUU-XII/2014 dan Mahkamah Konstitusi telah menolak uji materi tersebut.
Dimana, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum dan menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon. Yang mana dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:
Agama menjadi landasan bagi komunitas,individu, dan mewadahi hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sementara negara berperan menjamin kepastian hukum serta melindungi pembentukan keluarga yang sah, sehingga perkawinan tersebut haruslah dilakukan dalam salah satu keyakinan agama yang dianut atau salah satu pihak menundukkan dirinya kepada salah satu agama yang akan terikat dalam perkawinan itu.
Sehingga ketika dilakukan suatu prosesi pernikahan menurut keyakinan dari suatu agama dan kepercayaan tersebut dan dianggap sah oleh para pemuka dari agama yang telah di akui oleh Negara Indonesia maka perkawinan tersebut dipandang sah dan telah memenuhi ketentuan dari Pasal 2 (1) UU Perkawinan dan harus diselaraskan dalam suatu pencatatan resmi yang dilakukan oleh petugas yang diberikan kewenangan untuk mencatat perkawinan tersebut, sehingga dapat dikatakan pernikahan tersebut sah secara de facto dan de jure.
Demikian yang kami dapat jelaskan atas pertanyaan di atas.
Rusdianto Matulalatuwa, SH.
RUSDIANTO MATULATUWA & REKAN
Gedung Graha Pratama
20th Floor, Ruang M.Luthfie Hakim,
Jalan MT Haryono Kav 15
Jakarta, 10220, Telp : (021)83709926
Email : rusdiantomatulatuwa@gmail.com
Beberapa kasus yang ditangani Rusdianto seperti menjadi kuasa perkara terorisme Bom Bali I, kuasa hukum Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono, Uji Materi UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berkaitan dengan anak luar nikah atas nama Machicha Mochtar alias Aisyah Mochtar di MK, dan kuasa hukum untuk judicial review kenaikan tarif BPJS Kesehatan di MA.
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh tim detik, para pakar di bidangnya serta akan ditayangkan di detikcom.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hukum waris, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email:
redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Berhubung antusias pembaca untuk konsultasi hukum sangat beragam dan jumlahnya cukup banyak, kami mohon kesabarannya untuk mendapatkan jawaban.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Salam
Tim Pengasuh detik's Advocate