Kepala BKN (Badan Kepegawaian Negara) Bima Haria Wibisana menyebut alih status pegawai KPK dilakukan dengan merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU KPK baru. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menilai Bima mencampuradukkan antara pengadaan PNS dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN.
"Jadi apa yang disampaikan Kepala BKN sepertinya tidak terlalu tepat, dan mencampuradukkan antara proses pengadaan PNS dengan alih status pegawai KPK menjadi PNS," kata Feri kepada wartawan, Senin (31/5/2021).
Feri mengatakan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN diatur dalam 5 tahapan yang mempertimbangkan, di antaranya aspek kebutuhan, penyesuaian konsep hingga kapabilitas para pegawai. Hal itu teratur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai ASN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 PP 41 Tahun 2020 tentang Alih Status Pegawai KPK Menjadi PNS atau ASN itu diatur 5 tahapan. Dalam 5 tahapan itu ada beberapa hal yang dipertimbangkan, misalnya soal kebutuhan KPK, bentuk jabatan yang ada di KPK dan konsep ASN yang perlu disesuaikan, mempertimbangkan kemampuan dan kompetensi, dan kapabilitas dari pegawai KPK dan beberapa tahapan lain yang kemudian ujungnya alih status pegawai," papar Feri.
Feri menjelaskan tes wawasan kebangsaan tidak termasuk dalam 5 tahapan alih status pegawai KPK sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 41 Tahun 2020. Tes wawasan kebangsaan, sebut dia, tertuang dalam PP tentang manajemen PNS.
"Dari 5 tahapan itu sama sekali tidak ada tes wawasan kebangsaan. Jadi memang ada masalah serius soal tes wawasan kebangsaan ini dalam hal alih status. Yang dipahami Kepala BKN dan pimpinan KPK adalah soal pengadaan PNS," sebut Feri.
"Dalam konsep pengadaan PNS di dalam PP manajemen PNS, memang ada tes kompetensi dasar dan tes kompetensi bagian, yang di dalam kompetensi dasar itu ada tes wawasan kebangsaan," sambungnya.
Baca selengkapnya di halaman berikutnya.
Tonton Video: MAKI Bawa Perkara Pemberhentian 51 Pegawai KPK ke MK
Lebih lanjut, Feri menilai proses alih status pegawai KPK yang sudah berjalan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dia menyebut dalam proses peralihan status personel TNI atau Polri juga tidak ada tes wawasan kebangsaan.
"Nah konsep pengadaan ini jauh berbeda dengan alih status. Di alih status tidak ada lagi tes, karena, sebagaimana yang diterapkan dalam alih status anggota TNI dan kepolisian, sama sekali tidak ada tes wawasan kebangsaan, begitu juga diatur dalam PP 41," jelasnya.
Sebelumnya, Kepala BKN Bima haria Wibisana menjelaskan maksud pernyataan tak lolos TWK 'tidak merugikan pegawai'. Bima menyebut 'tidak merugikan pegawai' bukan berarti pegawai KPK yang tak lolos TWK harus menjadi ASN.
"Tidak merugikan pegawai tidak berarti dia harus menjadi ASN. Tidak merugikan pegawai bisa saja dia mendapat hak-haknya sebagai pegawai ketika diberhentikan dan itu juga tidak akan langsung diberhentikan, karena sebagai pegawai KPK mereka punya kontrak kerja, punya masa kerja, dan KPK masih boleh memiliki pegawai non-ASN hingga 1 November sesuai dengan undang-undangnya," papar Bima dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (25/5).
Bima memastikan keputusan ini sudah sesuai dengan arahan Jokowi dan sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Dia menegaskan keputusan terkait nasib 75 pegawai KPK ini tidak merugikan pegawai.
"Nah, kemudian ini juga sudah mengikuti arahan Bapak Presiden bahwa ini tidak merugikan ASN dan dalam keputusan MK tidak merugikan ASN, yaitu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Karena yang digunakan tidak hanya Undang-Undang KPK saja, tetapi ada Undang-Undang Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara," papar Bima.
"Pengalihan itu, itu masuk dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Jadi ini ada dua undang-undang yang harus diikuti, tidak hanya bisa satu saja, dua-duanya harus dipenuhi persyaratannya untuk bisa menjadi aparatur sipil negara," imbuhnya.