Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menggugat KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) karena dinilai membiarkan penanganan dugaan kasus korupsi Heli AgustaWestland (AW) 101 atau mangkrak. Heli itu rencananya akan jadi pesawat kepresidenan tapi Jokowi menolak tegas. Anehnya, heli seharga Rp 700 miliar lebih itu tetap tiba di Halim Perdanakusuma. Siapa yang mendatangkan?
Berikut ini kronologi kasus Heli AW-101 itu sebagaimana dirangkum detikcom, Selasa (30/3/2021):
23 November 2015
TNI AU menyatakan helikopter Super Puma untuk VVIP akan diganti dengan jenis dan merk terbaru karena sudah usang. Peremajaan helikopter kepresidenan itu sudah diusulkan sejak lama dan pengadaannya masuk dalam rencana strategis (renstra) ke-II TNI AU tahun 2015-2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi perlu diluruskan. TNI AU bukan akan membeli heli untuk presiden. TNI AU akan membeli heli VVIP untuk mengganti Super Puma yang usianya sudah tua," ungkap Kadispen TNI AU Marsma Dwi Badarmanto.
Dalam renstra, pilihan TNI AU untuk mengganti Super Puma yang diproduksi tahun 1980 itu jatuh pada Agusta Westland AW-101. Heli tersebut tidak spesifik diperuntukkan bagi Presiden Joko Widodo namun juga bagi pejabat VVIP termasuk wakil presiden dan tamu kenegaraan.
"Jadi bukan hanya untuk presiden. Diganti juga karena usia Super Puma sudah 25 tahun. Dan ini sudah masuk dalam renstra sebelumnya," kata Dwi.
Alasan TNI AU memilih Agusta Westland AW-101 adalah karena heli tersebut dinilai yang paling mumpuni untuk menunjang kepentingan VVIP. Heli jenis ini memang memiliki standar pengamanan modern yang mampu mengangkut 13 penumpang.
"Kita sudah lakukan semua kajian dan dipilih Agusta. Ada beberapa kelebihan, dia punya baling-baling 3, nyaman dan aman, punya perahu karet. Intinya dapat memberi keamanan bagi VVIP," jelasnya.
Heli yang akan dibeli TNI AU ini disebut Dwi juga anti peluru. Selain itu heli baru untuk VVIP tersebut juga dilengkapi dengan bantalan udara yang dapat mengembang seperti air kantong udara jika terjadi benturan.
AW-101 dipilih juga karena dapat dipasangi pelampung sehingga heli dapat mendarat dan mengapung di perairan dalam keadaan darurat. Plat-plat baja tahan peluru pada heli Agusta ini juga bisa dipasangkan pada helikopter lain sesuai keperluan.
"Ya heli ini anti peluru, kan untuk VVIP kita cari yang paling aman dan nyaman. Keselamatan harus terjamin," tutur Dwi.
3 Desember 2015
Presiden Jokowi menolak tegas pembelian Heli AW-101 sebagai pesawat kepresidenan.
29 Juli 2016
Mabes TNI AU menandatangani kerja sama pengadaan heli AW 101 dengan PT Diratama Jaya Mandiri.
Lihat juga video 'Kantor Perbekel Tianyar Digeledah Terkait Dugaan Korupsi Bedah Rumah':
Selanjutnya Jenderal Gatot Nurmantyo meminta KSAU untuk membatalkan pembelian heli >>>
14 September 2016
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta KSAU untuk membatalkan pembelian heli itu.
29 Desember 2016
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menerbitkan surat perintah tentang tim investigasi pengadaan pembelian heli AW 101.
24 Februari 2017
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menjalin kerja sama dengan Polri, BPK, PPATK, dan KPK untuk proses pengusutan pembelian heli AW-101.
4 Agustus 2017
Puspom TNI seorang mantan Asrena (asisten perencanaan) KSAU berpangkat Marsekal Muda. Dengan ditambah Marsda SB, total personel TNI yang telah ditetapkan sebagai tersangka ada 5. Pertama adalah Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Kolonel Kal FTS selaku Kepala Unit Pelayanan dan Pengadaan, yang perannya sebagai WLP; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; Serta Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu; Kemudian Marsda SB sebagai asrena KSAU.
16 Juni 2017
KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM), Irfan Kurnia Saleh, sebagai tersangka baru kasus pembelian helikopter Agusta Westland 101 (AW-101). Diduga sebelum mengadakan lelang, Fahmi dengan perusahaannya, PT Diratama Jaya Mandiri, lebih dulu meneken kontrak pada Oktober 2015 dengan AW (AugustaWestland), perusahaan join venture antara Westland Helikopter di Inggris dengan Agusta di Italia. Nilai kontrak sebesar USD 39.300.000 atau setara dengan Rp 514 miliar.
"Tapi pada bulan Juli setelah dilakukan penunjukan (oleh TNI AU) dan diumumkan pemenangnya adalah PT DJM yang merupakan milik IKS tadi, nilai kontrak tersebut adalah Rp 738 miliar. Jadi kalau dihitung merugikan negara sejumlah Rp 224 miliar. Itu lah yang kira-kira kita proses KPK dan TNI, khususnya teman-teman dari POM," beber Basaria.
Baca juga: Teka-teki Kasus yang Diadukan Jokowi ke KPK |
10 November 2017
Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh tidak terima dijadikan tersangka dan menggugat KPK ke PN Jaksel. Namun PN Jaksel memutuskan penetapan tersangka Irfan dianggap hakim telah sesuai dengan prosedur.
"Mengadili dalam provisi menolak permohonan pemohon, dalam eksepsi menolak eksepsi termohon seluruhnya. Dalam permohonan menolak permohonan pemohon praperadilan untuk seluruhnya," kata hakim tunggal Kusno.
Selanjutnya KPK Periksa Eks KSAU >>>
6 Juni 2018
KPK memeriksa mantan KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna. Agus menyebut persoalan ini tidak akan muncul apabila pihak 'pembuat masalah' paham betul dengan aturan yang ada.
"Sebetulnya dari awal dulu saya tidak pernah mau bikin gaduh, (tidak) mau bikin ribut permasalahan ini. Karena AW-101 ini harusnya teman-teman juga tahu. Coba tanya kepada yang membuat masalah ini, dia tahu nggak UU APBN? Tahu nggak mekanisme anggaran APBN itu seperti apa? Kalau tahu, tidak mungkin melakukan hal ini," kata Agus.
"Yang kedua, tahu nggak Peraturan Menteri Pertahanan No 17 Tahun 2011? Kalau tahu, nggak mungkin juga melakukan ini. Dan ada juga Peraturan Panglima No 23 Tahun 2012. Kalau mungkin tahu, nggak mungkin juga melakukan hal ini," lanjutnya.
Agus tak menyebut nama mengenai siapa sosok 'pembuat masalah' yang disebutnya itu. Dia hanya kemudian menilai masalah ini bisa diselesaikan dengan duduk bersama antara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Panglima yang sebelumnya Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, dan dirinya.
31 Juli 2019
KPK masih menunggu audit kerugian negara kasus tersebut dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Tentu kita sudah menetapkan tersangka ya nggak mungkin kita SP3-kan, karena kita tidak memiliki kewenangan menerbitkan SP3 atau menghentikan suatu perkara. Sejauh mana perkembangan penanganan helikopter ini, kita masih menunggu hasil audit BPK," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
13 Desember 2019
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah menyampaikan laporan analisis terkait kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101 oleh TNI AU yang diusut KPK. Sampai saat ini PPATK rupanya belum rampung menelusuri jejak-jejak uang yang mengalir hingga ke luar negeri itu.
"PPATK masih melakukan penelusuran atas aliran dana terkait indikasi korupsi dan TPPU dalam pengadaan helikopter AW-101," ujar Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin.
18 Maret 2021
MAKI mengajukan gugatan praperadilan atas KPK di PN Jaksel dan mendapat nomor 34/Pid.Pra/2021/PN JKT.SEL.
29 Maret 2021
Ketua MAKI, Boyamin Saiman membenarkan dirinya menggugat KPK dalam kasus di atas.
"Memerintahkan secara hukum Termohon (KPK-red) melakukan proses hukum selanjutnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terhadap perkara aquo berupa segera melakukan berbagai upaya penyelesaian penanganan penyidikan perkara korupsi pengadaan Heli AW-101 dengan Tersangka Irfan Kurnia Saleh dan selanjutnya melimpahkan berkas perkara aquo kepada Jaksa Penuntut Umum," kata Ketua MAKI Boyamin Saiman.