Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengungkapkan sampai hari ini MPR belum memutuskan akan kah Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) ditempatkan dalam UUD, Ketetapan MPR, atau dalam bentuk undang-undang. Jika masuk dalam UUD atau Ketetapan MPR maka perlu dilakukan amandemen UUD.
Menurutnya, saat ini soal amandemen atau tidak melakukan amandemen UUD masih menjadi perdebatan.
"Sampai sejauh ini Badan Pengkajian MPR dan fraksi-fraksi di MPR masih membuka diri untuk amandemen UUD khususnya terkait dengan PPHN," ujar dia dalam keterangannya, Senin (29/3/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu diungkapkannya dalam diskusi bertema Urgensi Dibentukan Pokok-Pokok Haluan Negara di Anyer, Banten, Sabtu (27/3/2021). Diskusi bersamaan dengan Press Gathering Pimpinan MPR dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen juga menghadirkan pembicara Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR Taufik Basari, dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman.
Gus Jazil, sapaan akrab Jazilul Fawaid, mengungkapkan reformasi 1998 menyisakan satu hal, yaitu memori tentang GBHN. Padahal pada kenyataannya GBHN dan PPHN tidak terlalu berbeda.
"Yang berbeda adalah MPR-nya. Dulu, MPR memiliki kewenangan menetapkan GBHN dan presiden bertanggung jawab kepada MPR. Sekarang PPHN diperlukan karena pembangunan ini maju mundur karena itu harus ada kerangka pembangunannya," katanya.
Menurutnya, padahal sebenarnya sudah ada pengganti GBHN yaitu UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Namun, rencana pembangunan dalam bentuk UU dirasa belum cukup, karena UU mudah direvisi. Oleh karena itu, ada keinginan memasukkan PPHN dalam UUD.
"MPR periode lalu 'gagal' melakukan amandemen. PPHN tidak tembus sehingga direkomendasikan kepada MPR periode sekarang. Tapi, secara pribadi saya melihat tidak cukup tenaga untuk mendesak perlu dan pentingnya PPHN," ujarnya.
"Sebab wacana PPHN hanya berputar di sekitar fraksi-fraksi. Belum ada tenaga atau dorongan kuat dari masyarakat riil di bawah bahwa PPHN ini penting dan segera," imbuhnya.
Jazilul menambahkan di tingkat fraksi-fraksi dan kelompok di MPR justru terjadi perdebatan apakah perlu amandemen UUD atau cukup dengan UU saja terkait dengan PPHN ini. Oleh karena itu masih terjadi pro dan kontra.
"Pengambilan keputusan terkait apakah perlu amandemen UUD atau cukup dengan UU soal PPHN ini masih menjadi perdebatan. Ditambah kehendak rakyat dari bawah tidak muncul. Pasalnya, PPHN ini ada pada wilayah ide, bukan pada tataran praksis sehingga PPHN sulit dimunculkan dengan menjadi kebutuhan yang mendesak, perlu dan segera," imbuhnya.
Ia juga mengatakan apalagi persoalan amandemen UUD dikhawatirkan membuka 'kotak pandora' yang bisa memasukkan isu-isu lain di luar PPHN. Misalnya, muncul isu tentang masa jabatan presiden tiga periode, perubahan kewenangan DPD, dan lainnya. Oleh karena itu, untuk menghentikan polemik di seputar amandemen UUD, ia menyebutkan perlu adanya kesepakatan fraksi-fraksi dan kelompok DPD di MPR.
"Kalau mau menghentikan spekulasi terkait amandemen UUD, maka semua fraksi di MPR bersepakat saja bahwa tahun ini tidak ada amandemen UUD. Maka semua pembicaraan terkait amandemen UUD dan isu yang menyertainya seperti masa jabatan presiden tiga periode dan lainnya, akan selesai dengan sendirinya," ujarnya.
Ia memperkirakan sulit untuk melakukan amandemen UUD pada tahun ini (2021). Pasalnya, belum ada sosialisasi terkait amandemen UUD itu di masyarakat. Lagi pula belum ada usulan dari anggota MPR untuk melakukan amandemen UUD.
"Tahun ini kelihatannya tidak mungkin," sebutnya.
Untuk melakukan amandemen UUD diperlukan usulan sepertiga dari anggota MPR, kemudian dibentuk panitia ad hoc, kemudian sidang paripurna untuk memutuskan soal amandemen UUD itu. Meski demikian, ia juga mengatakan bukan berarti tertutup kemungkinan untuk melakukan amandemen UUD terkait PPHN ini.
"Suaranya tercermin dari kehendak masing-masing fraksi dan kelompok DPD. Kalau ada kehendak melakukan amandemen yang tercermin di MPR bisa saja amandemen dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya," ujarnya.
"Tapi kehendak itu harus nyambung dengan kehendak rakyat. Kalau tiba-tiba idenya menguat dan rakyat setuju, maka bisa dilakukan amandemen. Sementara wacana PPHN ini masih antara sambung dan tidak sambung dengan kehendak rakyat," pungkasnya.
(fhs/ega)