KPK menjelaskan terkait rekomendasi agar fly ash and bottom ash (FABA) atau abu batu bara dicabut dari daftar jenis limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). KPK menilai ada potensi korupsi dalam pengelolaan FABA jika tidak dihapus dari limbah B3.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar awalnya berbicara mengenai tugas dan kewenangan KPK dalam melakukan monitoring sebagaimana diamanatkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Dalam hal itu, KPK memantau sistem dalam penyelenggaraan pemerintah yang berhubungan dengan berbagai sektor.
"Pertama sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, kemudian berhubungan yang berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional dan kemudian yang beresiko tinggi untuk tindak pidana korupsi," kata Lili dalam diskusi media 'Menjawab Dilema FABA', Senin (22/3/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lili menyebut KPK sejak tahun 2015 telah mencanangkan kegiatan program 35 Giga Watt. KPK juga, kata dia, aktif ikut serta dalam melakukan kajian dan juga melakukan monitoring dalam sektor ketenagalistrikan dengan tujuan sebagai upaya mendukung penyelenggaraan tenaga listrik nasional yang efisien, handal, aman, dan berkelanjutan.
"Lalu tentu untuk mendorong agar ada perbaikan dan pembenahan pada tata kelola di sektor tenaga listrik yang bebas fraud dan juga korupsi. Ketiga tentu untuk merumuskan dan menyepakati tentang action plan merumuskan pada tata kelola sektor tenaga listrik yang bebas fraud dan juga bebas korupsi," katanya.
Pada tahun 2020, Lili mengatakan KPK juga telah melakukan telaah terhadap pengelolaan FABA batu bara di PLTU milik PT PLN. Menurutnya, tujuan penelaahan ini juga untuk mencegah agar tidak terjadi korupsi dan juga pada potensi kerugian negara yang disebabkan terhadap kelemahan kebijakan.
"Dari hasil telaah tersebut, KPK menemukan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang memasukkan FABA sebagai limbah B3 ini memiliki beberapa kelemahan," katanya.
Menurut Lili, kelemahan dalam Permen itu berdasarkan hasil studi literatur didapatkan bahwa pengkategorian FABA sebagai limbah B3 tidak sesuai dengan pratik di berbagai negara internasional seperti di Jepang, Amerika Serikat, Australia, China, Eropa. Di negara tersebut FABA dikategorikan sebagai limbah non B3.
Lili mengatakan sebagian besar PLTU milik PLN dengan energi primernya berasal dari batu bara yang menghasilkan FABA. Hal itu menyebabkan timbulnya peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) PLN di tahun 2019 sebesar Rp 74 per KWH.
"Secara signifikan kenaikan BPP per KWH untuk pembangkit-pembangkit listrik di luar pulau jawa seperti PLTU Labuan Angin pada Sumatera ini sebesar Rp 790,65 per KWH," katanya.
"Tentu dengan dimasukkannya FABA sebagai limbah B3 ini dapat meningkatkan resiko korupsi pada tata kelola FABA dan mengurangi peluang pada pemanfaatannya secara maksimal sebagai bahan baku pada industri konvensional. Dengan nilai potensi 300 triliun maupun pada industri maju atau nano teknologi dengan nilai tambah yang berlipat," tambahnya.
Lihat juga Video: Walhi Pertanyakan Sikap KLHK Soal Dihapusnya FABA dari List B3