Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Iswahyu Widodo. Alhasil, Iswahyu terbukti korupsi saat menjadi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dengan memperdagangkan keadilan.
Dikutip dari putusan pengadilan, kasus bermula sejak KPK melakukan serangkaian OTT di PN Jaksel pada 2018. Saat itu, ditangkap panitera pengganti (PP) PN Jaksel, Ramadhan dengan pengacara Arif.
Sejatinya, Ramadhan saat itu sudah dimutasi ke PN Jaktim. Tapi, karena pernah bertugas lama di PN Jaksel, ia diyakini para pihak bisa mengkondisikan proses perkara perdata dengan imbalan sejumlah uang.
Perkara yang dimaksudkan adalah sengketa perdata soal pertambangan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Bisnis pertambangan itu pecah kongsi hingga masuk ke pengadilan.
Awalnya sengketa digelar digelar di PN Makassar. Tapi, pada majelis PN Makassar menyatakan tidak berwenang mengadili karena pihak bersengketa berdomisili di Jaksel.
Salah satu pihak, Martin Silitonga, sengketa mendorong perkara diadili kembali di PN Jaksel. Majelis kemudian dibentuk yang terdiri atas Iswahyu, Irwan, dan Achmad Guntur.
Martin mengusulkan agar pengacaranya, Arif Fitriawan, 'mengurus' kepada majelis hakim. Pengacaranya kemudian menghubungi Ramadhan.
Sepekan sebelum putusan sela, Ramadhan bertemu Iswahyu dan Irwan di RM Kuri-kuri Ampera Raya, Jaksel.
"Duitnya berapa?" tanya Irwan.
"Rp 150 juta," kata Ramadhan.
Irwan menyatakan menyanggupi membantu dan mengakomodasi. Ramadhan menyampaikan pesan itu ke Arif. Oleh Arif, pesan itu diteruskan ke Martin. Sejurus kemudian, Martin mentransfer uang ke Arif sebesar Rp 210 juta.
Pada 31 Juli 2018, Arif menyerahkan uang Rp 150 juta ke Ramadhan di parkiran masjid STPDN Cilandak, Jalan Ampera Raya. Uang kemudian berestafet dari Ramadhan ke Irwan di parkiran Kemang Medical Centre, Jalan Ampera Raya.
Uang itu kemudian dibagi kepada Irwan dan Iswahyu. Irwan mendapatkan Rp 110 juta, sedangkan Iswahyu mendapatkan Rp 40 juta.
Di sisi lain, Martin ditahan jaksa Kejari Jaksel dalam kasus penggelapan pada 26 November 2018.
Adapun perkara perdata terus bergulir. Menjelang vonis akhir, mengucur uang Rp 500 juta. Uang itu kemudian ditukar ke dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Uang dari Arief itu kemudian diserahkan ke Ramadhan di tempat tinggalnya di Lavender Residence.
Saat serah-terima uang suap babak kedua itu, KPK membekuk Arief dan Ramadhan. Komplotan koruptor itu kemudian diadili dengan berkas terpisah.
Pada 11 Juli 2019, PN Jakpus menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara kepada Iswahyu karena terbukti bersalah menerima suap dari Direktur CV Citra Lampia Mandiri (CLM) Martin P Silitonga. Iswahyu bersalah melanggar Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke-1, Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Atas vonis itu, Iswahyu menerima putusan tersebut. Tapi belakangan mengajukan PK. Apa kata MA?
"Tolak," demikian bunyi amar singkat PK Iswahyu yang dilansir di website MA, Selasa (16/3/2021).
Duduk sebagai ketua majelis Salman Luthan dengan anggota Sofyan Sitompul dan Prof Abdul Latif. Perkara nomor 62 PK/Pid.Sus/2021 itu diketok pada 9 Maret 2021 dengan panitera pengganti Ekova Rahayu Avianti.
(asp/knv)