Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat bisa diselesaikan. Menko Polhukam Mahfud Md menegaskan pemerintah serius untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
"Iya, kami serius semua. Kejaksaan Agung serius. Tadi (saat pertemuan Mahfud dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin) itu juga disinggung. Itu karena memang sudah berproses. Cuma tadi tidak jadi diskusi yang khusus dan luar biasa, kita menyinggung aja bahwa ini sedang berjalan, di-excercises dulu gitu, nanti ujungnya ke mana. Tapi yang jelas, yang jelas (penyelesaian kasus HAM) kebijakan negara, bukan hanya kebijakan Presiden ya," kata Mahfud Md, saat konferensi pers di kantor Kejagung, Jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (15/3/2021).
Mahfud menambahkan kasus pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan dengan cara yudisial dan nonyudisial. Dia pun mengatakan pemerintah masih terus bekerja untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak jaman MPR masih bisa membuat TAP (Ketetapan) MPR, lalu ketika ada Undang-Undang tentang pengadilan HAM, Undang-Undang tentang Papua, Undang-Undang tentang Aceh, semuanya menyatakan ada kasus-kasus yang bisa diselesaikan secara yudisial jika secara, apa namanya hukum dimungkinkan dari sudut alat bukti dan mekanisme prosedur. Serta apa namanya, kadaluarsa, dan sebagainya. Tapi ada juga yang di luar pengadilan, nonyudisial," terang Mahfud.
"Nah ini semua masih jalan. Kita merencanakan penyelesaian itu yudisial dan non yudisial," tambah Mahfud.
Pertengahan Desember 2020, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan koalisi korban pelanggaran HAM berat masa lalu membuat surat terbuka. KontraS meminta Jaksa Agung menjalankan perintah Presiden Jokowi, yang meminta agar penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu segera diproses.
"Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Kejaksaan Agung merupakan aktor kunci dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan meminta kepada Kejaksaan Agung untuk segera melakukan proses penyelesaian terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM berat. Perintah yang disampaikan pada rapat Presiden dengan Kejaksaan Agung di Istana Negara pada Senin (14/12/2020) itu adalah bukti bahwa Presiden Joko Widodo berharap kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diselesaikan lewat jalur yudisial," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya, Rabu (16/12).
Simak juga video 'Soal KM 50, Mahfud: Sampaikan Kalau Ada Bukti Pelanggaran HAM Berat':
Adapun surat terbuka dilakukan KontraS bersama koalisi korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terdiri atas Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, Ikapri (Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok) 1984, Orangtua Korban Semanggi I dan Semanggi II, IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia). Adapun Paguyuban Keluarga Mei 1998, IPT (International People Tribunal) 1965, dan PK2TL (Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung turut di dalam surat terbuka itu.
KontraS meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) menindaklanjuti proses penyidikan dan penuntutan terhadap 13 kasus pelanggaran HAM berat yang telah rampung dan dilakukan penyelidikannya oleh Komnas HAM.
"Kami mendesak agar Jaksa Agung segera melaksanakan perintah Presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur yudisial dengan menindaklanjuti laporan penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan dan penuntutan," kata Fatia.
Fatia menyoroti kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok, Timor Leste, dan Abepura karena seluruh terduga pelaku yang diputus bersalah di pengadilan HAM ad hoc dinyatakan bebas di tahap kasasi dan beberapa aktor kunci dalam rangkaian rantai komando belum pernah tersentuh hukum dan tidak pernah dihadirkan dalam pengadilan HAM ad hoc. KontraS juga menyayangkan belum dilakukannya pemulihan kepada korban dan keluarga korban hingga kini.
"Hal ini menunjukkan bahwa negara belum benar-benar menyelesaikan secara optimal kasus Tanjung Priok, Timor Leste, serta Abepura," ujarnya.
(aud/aud)