Sebelumnya, M Qodari berpandangan AD/ART 2020 Partai Demokrat sebagai hal yang menarik. Dia menilai ada tanda-tanda brutalitas politik dalam AD/ART Partai Demokrat 2020.
"Saya kira memang menarik AD/ART 2020 ini karena KLB misalnya itu bisa dilaksanakan atau setidaknya didukung dua pertiga DPD, separuh DPC tapi harus disetujui ketua majelis tinggi, padahal dalam kongres majelis tinggi suaranya hanya 9, DPD 68, lalu DPC 514 kabupaten/kota. Jadi yang berkuasa itu sesungguhnya siapa? Apa pemilik suara atau mayoritas suara atau ketua majelis tinggi? Kalau pak Bambang Widjojanto melihat ada brutalitas demokrasi atau fenomena yang namanya brutalitas demokrasi, jangan-jangan brutalitas demokrasi terjadi di dalam AD/ART Partai Demokrat tahun 2020," ujar Qodari saat dihubungi, Sabtu (13/3/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Qodari juga menilai ada perbedaan kekuasaan antara ketua umum di Partai Demokrat dan ketua majelis tinggi di Partai Demokrat dalam AD/ART 2020 tersebut. Dia beranggapan ketua majelis tinggi memiliki kewenangan yang lebih tinggi.
"Lalu yang menariknya kongres memilih ketum seharusnya yang memiliki kekuasaan terbesar adalah ketum karena katakanlah dia yang mendapat mandat dari peserta kongres, tapi kalau kita lihat penjabarannya saya merasa wewenang majelis tinggi lebih banyak, lebih besar dan lebih strategis dari ketua umum, menariknya ketua majelis tinggi tidak dipilih oleh kongres 2020 karena di AD/ART itu ditulis bahwa ketua majelis tinggi merupakan ketua umum periode 2015 dan 2020 yang kita ketahui adalah Pak SBY," ucapnya.
(eva/imk)