10 Kali UU ITE Digugat ke MK, Tak Ada Satu Pun yang Dikabulkan

10 Kali UU ITE Digugat ke MK, Tak Ada Satu Pun yang Dikabulkan

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 19 Feb 2021 17:53 WIB
Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (tengah), Wahiduddin Adams (kiri) dan Manahan MP Sitompul (kanan) memimpin sidang pengujian formil UU Cipta Kerja di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/11/2020). MK menggelar sidang pengujian formil atas dugaan pelanggaran asas formil dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi (GMPHK). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/nz
Ilustrasi sidang di MK (ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)
Jakarta -

Wacana Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus mengemuka dengan berbagai alasan. Namun bila menilik ke belakang, UU ITE itu sedikitnya pernah digugat 10 kali ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan tidak ada satu pun yang dikabulkan.

Sebagaimana dikutip detikcom dari website MK, Jumat (19/2/2021), gugatan UU ITE pertama kali diajukan oleh Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang. Iwan menggugat UU ITE pada Desember 2018, yaitu Pasal 27 ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik. Berikut bunyi Pasal 27 ayat 3 UU ITE:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Argumen Iwan, pasal itu memberangus kebebasan berpendapat masyarakat dan kebebasan pers. Namun alasan itu ditolak MK.

"Penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP," kata Ketua MK kala itu, Mahfud Md.

ADVERTISEMENT

MK menegaskan, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut. Dan harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

"Sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan," kata anggota majelis Abdul Mukthie Fadjar, M. Arsyad Sanusi, Maruarar Siahaan, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, dan Harjono.

Setahun setelahnya, gugatan yang sama juga dilayangkan ke MK. Pasal yang minta dihapus juga masih sama. Yaitu Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Namun, lagi-lagi gugatan yang mengantongi nomor 2/PUU-VII/2009 kandas.

"Kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat adalah salah satu pilar demokrasi. Akan tetapi, tatkala kebebasan a quo tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral dari para blogger maka yang terjadi justru kontra demokrasi seperti, kebohongan publik, pelanggaran asas praduga tidak bersalah dan sebagainya," demikian bunyi putusan MK.

MK menegaskan kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat di Indonesia adalah berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Hal ini berarti bahwa kebebasan a quo tidak dapat dilaksanakan hanya demi kepentingan dan selera atau hanya milik para blogger, tetapi adalah milik seluruh rakyat Indonesia.

"Oleh karenanya, para blogger di dalam berinteraksi di blog mereka tetap tunduk dan harus menundukkan diri pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Dengan kata lain, kebebasan a quo tidak dapat berjalan tanpa menghormati proses demokrasi maupun tanpa mengindahkan aspek keadilan dan penegakan supremasi hukum," ujar MK.

Lihat juga Video "Ahli Pidana: Revisi UU ITE Harus Antisipasi Terkait Buzzer":

[Gambas:Video 20detik]



Empat tahun setelahnya atau pada 2013, pengacara Farhat Abbas melayangkan gugatan UU ITE ke MK. Berbeda dengan dua kasus sebelumnya, kali ini Farhat Abbas meminta Pasal Ujaran Kebencian di UU ITE dihapus. Pasal yang dimaksud berbunyi:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Mengapa Farhat Abbas menggugat? Selidik punya selidik, gugatan dilayangkan setelah ia dijadikan tersangka atas ujaran kebencian SARA kepada Gubernur DKI Jakarta Ahok. Namun, gugatan Farhat Abbas juga bernasib serupa dengan gugatan sebelumnya.

MK menilai pasal yang digugat adalah untuk melindungi kebinekaan Indonesia dan dapat mengikis persatuan Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, namun dalam persatuan dan kesatuan Indonesia.

"Ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU ITE justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan bangsa Indonesia. Paralel dengan prinsip ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tidak ada agama yang membenarkan penyebaran kebencian sesuai dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sebab, kemanusiaan mengharuskan perlakukan sama serta penghormatan kepada sesama manusia," ujar majelis.

Sama dengan Farhat Abbas, pengacara Habibburokhman dan Asma Dewi juga menggugat pasal serupa ke MK. Tapi MK bergeming.

MK berpendapat kekhawatiran Habiburokhman dan Asma Dewi bila pasal itu menjadi pasal karet, tidak beralasan menurut hukum. Sebab, hukum, khususnya hukum pidana, diciptakan bukan untuk melindungi sifat maupun tindakan/perbuatan jahat.

"Bahkan, dalam ilmu hukum pidana, dikatakan bahwa salah satu unsur objektif tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tindakan/perbuatan korupsi, anti-Pancasila, mencuri, merampok, sebagai contoh, adalah tindakan yang melanggar hukum," kata MK dengan tegas.

Mantan Ketua DPR Setya Novanto juga pernah meminta tafsir UU ITE ke MK. Pangkalnya, ia tidak terima percakapan pribadi dengan Sudirman Said direkam secara terselubung. Bagi Setya Novanto, hal itu merupakan bagian dari penyadapan dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

MK memutuskan harusnya Setya Novanto mempermasalahkan apa yang dialaminya ke kepolisian, bukan menguji UU ITE ke MK.

"Sehingga seharusnya yang ditempuh oleh Pemohon adalah mempermasalahkannya secara hukum selaku korban melalui peradilan pidana dan perdata guna menegakkan Undang-Undang a quo, bukan justru menguji Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)," kata MK.

Selain lima kasus di atas, lima gugatan terhadap UU ITE juga mengalami hasil serupa. Yaitu perkara Nomor 78/PUU-XVII/2019, perkara Nomor 50/PUU-XVIII/2020, perkara Nomor 64/PUU-XVI/2018, perkara Nomor 74/PUU-XIV/2016 dan perkara Nomor 1/PUU-XIII/2015.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads