1. Keunggulan yang dimiliki teknologi informasi, seperti kecepatan transfer data, informasi dan karakter yang sangat terbuka hingga hampir tanpa batas. Di satu sisi memberikan banyak manfaat bagi umat manusia, namun di sisi lain dapat pula menimbulkan dampak negatif yang ekstrim apabila norma-norma hukum, norma-norma agama dan moral ditinggalkan.
2. Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berinteraksi secara cepat maka dituntut pula kehati-hatian karena tidak adanya filter pembatas yang dapat menangkal nilai-nilai negatif ketika berinteraksi dengan pihak lawan interaksi. Potensi penyalahgunaan justru lebih besar dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di ranah dunia maya dari pada upaya penegakan hukum. Undang-Undang telah memberikan batasan mana sisi-sisi yang merupakan domain publik dan mana sisi-sisi yang melanggar hak-hak privasi orang lain.
3. Perkembangan teknologi informasi beserta perkembangan instrumen canggih lainnya, hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah kehidupan manusia yang hidup dan saling berpengaruh dalam dunia nyata (real/physical world) guna mencapai suatu kesejahteraan. Sehingga, fokus akhir dari pengaturan dan pembatasan oleh hukum in casu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, adalah untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia dalam media cyber yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata.
4. Kejahatan yang dilakukan di dunia maya dirasakan oleh korban dalam jangka waktu yang sangat panjang dan begitu meluas karena tanpa adanya sekat yang mampu membatasi penggunaan, kapan saja dan dimana saja semua orang dapat membuka fitur-fitur yang dimuat di dalamnya, sehingga justru korban dari kejahatan di dunia maya-lah yang mengalami efek dalam jangka panjang bukan pelaku kejahatannya.
5. Kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat adalah salah satu pilar demokrasi. Akan tetapi, tatkala kebebasan a quo tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral dari para blogger maka yang terjadi justru kontra demokrasi seperti, kebohongan publik, pelanggaran asas praduga tidak bersalah dan sebagainya.
6. Kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat bukan berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya, karena kebebasan yang sebebas-bebasnya dapat menggiring pelaksananya menjadi sebuah supra kekuasaan yang tidak tersentuh oleh siapa pun. Dalam hal ini, UU ITE tidak dimaksudkan sebagai perangkat represif untuk membelenggu kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat, melainkan untuk menjaga agar kebebasan a quo tidak masuk ke dalam lingkaran supra kekuasaan.
7. Dalam UU ITE kebebasan para pengguna/pengelola web blog atau blog, komunitas facebook, milis dan sebagainya, sepanjang konteksnya masih dalam ranah publik, tidak mengganggu privasi seseorang, maka komunitas-komunitas dunia siber tersebut akan tetap memiliki kemerdekaan untuk melakukan kontrol sosial.
8. Prof. Willem Frederik Korthals Altes memberikan ilustrasi salah satu putusan Hoge Raad bulan Maret 2009 yang membebaskan seseorang dari tanggung jawab pidana atas pencemaran nama baik terhadap sekelompok orang atas dasar orientasi keagamaannya. Pertimbangan hukum Hoge Raad dalam perkara a quo adalah karena pencemaran nama baik tersebut hanya mengkritik institusi, bukan orang per orang/individu. Dengan perkataan lain, Hoge Raad mengakui bahwa pencemaran nama baik yang menyerang nama baik dan kehormatan orang per orang adalah dapat dituntut atau dijatuhi pidana.
9. Sebagaimana di dalam dunia nyata (real/physical world), kebebasan bagi netter atau netizen adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan keterangan tertulis yang disampaikan ahli George Bonaventure Hwang Chor Chee, yang pada pokoknya antara lain menerangkan bahwa di beberapa negara (termasuk Singapura) hukum tentang pencemaran nama baik, berlaku secara sama. Baik untuk pencemaran nama baik yang dilakukan melalui internet maupun melalui media tradisional. Demikian pula, pelaku pencemaran nama baik a quo dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
(asp/knv)