Wakil Ketua DPR RI bidang Korpolkam Azis Syamsuddin menilai revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu penting untuk dilakukan. Azis menilai revisi UU Pemilu dilakukan untuk memastikan kesiapan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024.
"Pembahasan RUU Pemilu relevan dan penting untuk dilakukan dalam rangka memperkuat kualitas demokrasi bagi kemajuan bangsa dan negara yang kita cintai yaitu Indonesia," Kata Azis Syamsuddin dalam keterangan tertulis, Selasa (9/2/2021).
Azis mengungkapkan, saat ini ada sejumlah partai yang menolak revisi UU Pemilu. Pimpinan DPR dari Fraksi Partai Golkar itu menyebut revisi UU Pemilu bukan bertujuan untuk menggugurkan amanat UU Pilkada Tahun 2016, yang melahirkan keputusan bahwa penyelenggaraan pemilu secara serentak pada 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Justru sebaliknya, revisi terhadap UU Pemilu dibutuhkan untuk mencari solusi atas sejumlah kekhawatiran bila pilkada dan pemilu diselenggarakan serentak, seperti kesiapan anggaran, kesiapan penyelenggara, kesiapan pemilih, serta keadilan dan kepastian hukum. Di mana semuanya terkait dengan kualitas pemilu dan legitimasi" ujarnya.
Azis mengatakan, bila akhirnya sejumlah fraksi di DPR memutuskan untuk tetap revisi UU Pemilu, fokus pembahasan harus berkenaan dengan upaya mencari solusi dalam rangka membangun sistem penyelenggaraan pemilu yang efektif, efisien.
"Upaya ini untuk menyempurnakan sistem demokrasi di Indonesia. Publik diharapkan tidak berspekulasi tentang rencana DPR melakukan revisi terhadap UU Pemilu," tutupnya.
Azis menjelaskan, beberapa hal yang menjadi urgensi agar Revisi UU Pemilu dilanjutkan. Pertama UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebabkan kondisi kompleksitas pemilu lima kotak (Pemilihan Presiden, DPR RI, DPR, DPRD I, dan DPRD II). Lalu, pengaruh terhadap tingginya surat suara tidak sah (invalid votes) dan surat suara terbuang (wasted votes).
Kemudian, adanya Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu. Serta desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang cenderung belum berimbang dalam membangun posisi dan relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Lebih lanjut, kebutuhan penyelarasan pengaturan dengan berbagai putusan MK terkait UU Pemilu seperti hak pilih, mantan terpidana, dan lain-lain. Lalu, penyelesaian permasalahan keadilan pemilu dengan terlalu banyak ruang saluran (many room to justice) sehingga sulit mencapai keadilan dan kepastian hukum.
(eva/zak)