Saksi yang dihadirkan jaksa KPK, Iwan Cendekia Liman, mengaku pernah dihubungi terdakwa penyuap mantan Sekretaris MA Nurhadi, Hiendra Soenjoto, saat terdakwa berstatus DPO. Iwan melaporkan komunikasi itu ke KPK dan diminta terus berkomunikasi dengan Hiendra agar penyidik tahu posisi Hiendra.
Awalnya, Iwan mengetahui terdakwa ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pada 12 Desember 2019 dan Hiendra berstatus DPO pada 13 Februari 2020. Dia lalu pernah dihubungi Hiendra pada akhir Juli 2020. Iwan terlebih dahulu dihubungi seseorang mengaku pengacara Hiendra.
"Ada yang menghubungi saya pertama kali dahulu inisialnya JHN. Dia mengaku sebagai pengacara Hiendra, yang intinya Hiendra Soenjoto mau bikin pengakuan dan memberikan barang buktinya ke KPK, namun meminta saya menyerahkan kompensasi karena ada risiko Hiendra Soenjoto bakal ditahan, yang diminta kompensasinya sebesar Rp 30 miliar," kata Iwan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Jumat (5/2/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Iwan menyebut percakapannya dengan terdakwa saat itu dia rekam berupa video dari rekaman telegram selama 5 detik. Dia merekamnya karena telegram itu diset 5 detik hancur. Iwan turut menyebut saat itu nama kontak Hiendra hanya berupa titik-titik.
"Barang bukti percakapannya ada videonya. Ada rekaman suara Hiendra Soenjoto juga. Itu kenapa saya video karena telegram diset untuk 5 detik hancur. Telegram yang diset 5 detik hancur itu tidak bisa di-screen capture sehingga harus divideo dengan video lain dan itu sudah disita KPK semua," jelasnya.
"(Saya yakin itu terdakwa) karena Hiendra menelepon dulu melalui telepon, kalau itu tidak telepon dulu pasti saya tidak tanggapin karena tidak jelas siapa yang melakukan conversation dengan saya apalagi dia cuma pasang namanya itu titik-titik titik-titik," imbuhnya.
Iwan kemudian melaporkan komunikasi itu ke KPK. Lembaga antirasuah itu, sebutnya, meminta agar dirinya tetap berkomunikasi dengan Hiendra agar KPK mengetahui posisi terdakwa.
"Saya langsung mengontak Biro Hukum dan Penyidik KPK. Dari Biro Hukum dan Penyidik (meminta) agar terus melakukan percakapan supaya penyidik dapat mengetahui posisi Hiendra ataupun pengacaranya," ungkap Iwan.
Iwan disarankan agar menyetujui adanya pertemuan dengan terdakwa. Namun, akhirnya pertemuan itu tidak pernah terjadi.
"Atas saran penyidik dan biro hukum, di percakapan saya seakan-akan menyetujui untuk permintaan pertemuan. Tapi pada kenyataannya tidak pernah terjadi pertemuan juga, karena maunya Hiendra saya menyerahkan down payment Rp 3 miliar ke saudaranya di Surabaya sebelum menyerahkan sisanya untuk kepastian saya serius, tidak mau langsung bertemu saya karena posisinya Hiendra DPO, tapi hal tersebut tidak saya realisasikan," jelasnya.
Dalam sidang ini, Hiendra Soenjoto didakwa memberi suap kepada Nurhadi sebesar Rp 45,7 miliar. Suap diberikan agar Nurhadi mengurus perkara Hiendra tingkat Pengadilan Negeri hingga MA.
Jaksa mengatakan Nurhadi menerima uang dari Hiendra melalui menantunya, Rezky Herbiyono. Suap diberikan agar Nurhadi mengurus perkara gugatan Hiendra melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan gugatan melawan Azhar Umar.
Atas dasar itu, Hiendra didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
PN Jakarta Utara dalam putusannya menolak gugatan PT MIT sehingga PT MIT meminta banding ke PT DKI Jakarta, begitu upaya hukum PK juga ditolak.
(dkp/dkp)