NasDem menjadi salah satunya partai yang berbeda pandangan terkait pilkada dengan partai pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) lainnya. Di saat partai lain mendukung Pilkada 2024, NasDem justru berbeda arah dan konsisten ingin Pilkada digelar 2022.
Padahal Jokowi telah mengumpulkan eks juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) pada Kamis (28/1). Salah satu hal penting yang dibahas dalam pertemuan itu adalah soal Pemilu dan Pilkada.
Waketum PPP yang juga mantan jubir TKN, Arsul Sani, menuturkan ada arahan khusus yang disampaikan oleh Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Khusus terkait Pemilu dan Pilkada, Presiden meminta agar semua kekuatan politik, terutama parpol yang memiliki kursi di DPR, untuk mempertimbangkan betul soal perubahan UU (Pemilu)," kata Arsul saat dihubungi.
Jokowi, kata Arsul, menilai hajatan politik besar di tengah pandemi Corona bisa mengganggu pemulihan sektor kesehatan masyarakat maupun ekonomi. Presiden Jokowi ingin setiap parpol serius memikirkan segala kepentingan terkait pelaksanaan pilkada. Jokowi, dikatakan Arsul, ingin setiap partai memerhatikan manfaat dan mudarat jika pilkada digelar lebih cepat dari UU Pemilu saat ini.
"Karena di tengah-tengah pandemi COVID-19 seperti ini dan situasi ekonomi yang masih jauh dr pulih, jika ada hajatan-hajatan politik yang berpotensi menimbulkan ketegangan antar elemen masyarakat seperti hal-nya Pilkada di daerah-daerah tertentu, maka ini akan mengganggu pemulihan baik sektor ekonomi maupun kesehatan masyarakat itu sendiri," ungkapnya.
"Jadi intinya Presiden meminta agar dikaji betul dari berbagai kepentingan, tentunya kepentingan bangsa dan negara, manfaat dan mudaratnya ada Pilkada lagi yang lebih cepat dari pada yang sudah ditetapkan dalam UU yakni akhir tahun 2024," sambung Arsul.
Kembali ke sikap partai politik pendukung Jokowi, awalnya hanya ada 3 partai pendukung Jokowi yang sepakat Pilkada 2024, yakni PDIP, PPP, dan PKB. Sementara Golkar dan NasDem mengusulkan Pilkada 2022.
Tapi, setelah ada pertemuan eks Jubur TKN itu, Golkar mengubah sikap untuk mendukung Pilkada 2024. Namun, NasDem masih konsisten ingin Pilkada 2022.
Kenapa NasDem tetap ingin pilkada 2022? Simak berita selengkapnya
Alasan NasDem tetap mendukung pilkada 2022 ini adalah mempertimbangkan kemaslahatan orang banyak, melihat dari evaluasi pemilu serentak pada 2019.
"Kita melihat tahun 2019 ketika pemilu dilaksanakan 5 kotak kemarin, begitu banyak kegaduhan yang terjadi dan bahkan orang meninggal hanya karena gara-gara kelebihan jam kerja," kata Waketum NasDem, Ahmad Ali, ketika dihubungi, Minggu (31/1/2021).
"Nah saya tidak bisa membayangkan kalau kemudian 2024 itu dilakukan pilkada secara serentak, jadi mulai tahapan legislatif dilaksanakan 2023 akhir, terus kemudian 2024 masuk pilpres, terus kemudian 2024 akhir akan pilkada," lanjutnya.
NasDem khawatir akan ada banyak kegaduhan dalam rangkaian penyelenggaraan pemilu serentak tersebut. NasDem juga mengatakan akan banyak anggaran yang keluar jika pemilu dilaksanakan secara serentak.
"Jadi kita bias bayangkan di 2024 itu tidak ada urusan pemerintah, urusan rakyat itu nggak ada lagi, karena semua habis energi kita bicara hanya pilpres, pileg, sampai pilkada jadi begitu banyak persoalan nanti. Terus berapa banyak biaya nanti untuk melaksanakan agenda politik tersebut, terus keterbatasan sumber daya negara penyelenggaraan," ujar Ali.
Lebih lanjut, Sekretaris Fraksi NasDem DPR, Saan Mustopa, menuturkan perbedaan sikap partainya itu tidak akan mempengaruhi dukungan terhadap Jokowi. Dia menegaskan NasDem tetap loyal terhadap semua program Jokowi.
"Kalau ini kan nggak terkait langsung dengan kebijakan yang berhubungan langsung dengan pemerintah. Ini kan kualitas demokrasi ke depan, kita tuh selalu loyal selalu setia dan terdepan mendukung kebijakan pemerintah terkait omnibus law, macam-macam kita mendukung," kata Saan, kepada wartawan, Minggu (31/1/2021).
Bahkan, menurut Saan, NasDem malah membantu untuk mencapai sistem demokrasi yang kuat di akhir masa kepemimpinan Jokowi. Saan menilai demokrasi tidak akan berjalan mulus jika seluruh rangkaian pemilu disatukan di tahun yang bersamaan.
"Kalau ini juga kita justru membantu Pak Jokowi agar Pak Jokowi selepas masa jabatannya ini meninggalkan legasi yang bersejarah, dalam konteks memperkuat demokrasi. Jadi Pak Jokowi itu benar-benar sebagai bapak demokrasi, karena ketika meletakkan jabatannya di periode kedua ini, demokrasi menjadi sangat kuat kan dengan menata sistem kepemilihan itu tadi," ujarnya.
"Jadi justru apa yang dilakukan NasDem itu dalam rangka membantu Pak Jokowi dalam rangka membuat demokrasi dan memperkuat kepemimpinan daerah," lanjut Saan.
NasDem kata Saan, tidak mempermasalahkan ketika berada di posisi berbeda dengan partai pendukung lain terkait Pilkada ini. Menurutnya, pandangan NasDem ini akan menjadi masukan ke Presiden Jokowi.
"Nggak ada masalah karena tentu diskursus tentang pilkada ini kan dikedepankan, pemerintah kan masih mempertimbangkan agar pilkada tetap di 2024, tentu ketika mempertimbangkan butuh masukan termasuk masukan partai koalisi terutama dari NasDem," ujarnya.
Ada beberapa pertimbangan yang disampaikan NasDem kenapa tetap ingin pilkada digelar 2022. NasDem mempersoalkan kemampuan teknis penyelenggaraan pilkada yang berbarengan dengan pileg dan pilpres.
"NasDem memberikan bahan dan masukan buat pemerintah kenapa pilkada itu tetep harus dibuat normal 2022 dan 2023, karena secara teknis kepemiluan tidak meyakinkan, bagaimana mungkin 500 lebih daerah kabupaten/kota dan gubernur dalam waktu yang bersaamaan, di saat bersamaan juga kita melakukan pileg dan pilpres," ujarnya.
"Dalam sisi teknis pasti ada tahapan yang berhimpitan, tentu sangat menyulitkan posisi penyelenggara, misalnya dalam jadwal pileg pilpres di April 2024, pilkada di November 2024, pasti kan di saat tahapan pileg, pilpres belum selesai sudah mulai pilkada lagi," lanjut Saan.
Kemudian NasDem juga tidak yakin dari sisi keamanan. Saan mengatakan pilkada serentak yang berbarengan dengan pileg, pilpres akan memunculkan dinamika politik yang berbeda. Belum lagi menurutnya, kondisi politik di daerah yang lebih sensitif.
"Kemudian dari sisi keamanan apakah mungkin sanggup untuk menangani pilkada serentak di saat yang sama masih ada pileg pilpres, sementara muatan politik didaerah kan berbeda, daerah itu kan lebih sensitif dengan sikap politik, dan nggak bisa juga dilakukan secara bersamaan, mengamankan pilkada serentak aja belum tentu sanggup karena dinamika yang sangat berbeda, apalagi di saat yang sama juga melakukan pileg dan pilpres," tuturnya.
Lebih lanjut, Saan mengatakan di setiap daerah perlu adanya pemimpin yang bertanggung jawab secara definitif untuk menangani kondisi pascapandemi. Sedangkan, pelaksana tugas, kata Saan, memiliki kewenangan yang terbatas.
"Secara sumber daya akan ada pelaksana tugas kepala daerah, ada sekitar 200 plt dan 25 gubernur, bagaimana mem-plt-kannya?, dirjen kemendagri sanggup nggak?, belum lagi 245 kabupaten kota, itu pun juga problem, plt kepala daerah berbeda kewenangannya dengan kepala daerah secara definitif, dalam kerangka melakukan upaya pasca pandemi kita kan membutuhkan kepala daerah yang punya legitimasi politik yang kuat, nah itu kepala daerah hasil pemilu," tuturnya.