Pilkada 2020 menyisakan masalah yang ditandai dengan masuknya 135 perkara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh sebab itu, kenegarawanan hakim konstitusi dinanti untuk mengurai masalah yang terstruktur, sistematis, dan masif itu serta melahirkan keadilan substantif.
"Maka kita tentu berharap MK menjadi gerbang terakhir dispute resolution dilakukan. Selama ini belum cukup efektif, tetapi ada peningkatan KPU/DKPP untuk meningkatkan penyelesaian masalah. Tapi persoalan tidak pernah berkurang," kata mantan Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo dalam diskusi webinar, Kamis (21/1/2021).
Berdasarkan teori, terdapat 21 hak warga dalam proses pemilu/pilkada. Seperti setara memilih, setara dipilih, pemilihan berkala, pemilihan suara secara rahasia, kesetaraan laki-laki dan perempuan, kebebasan bergerak, kebebasan beropini, kebebasan mendapatkan informasi hingga hak untuk mendapatkan keadilan. Dalam praktik pilkada, tidak semuanya bisa ditegakkan. Jadi MK perlu mewujudkan 21 hak itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya berharap kepada kenegarawanan hakim Mahkamah Konstitusi karena problem itu nyata dan bisa dirasakan. Penegakan hukum masih terkendala dalam hukum formal yang sangat menyekat-sekat poses itu. Bahkan beberapa regulasi tidak tegas apa yang harus dilakukan," sambung Bambang.
Oleh sebab itu, Bambang berharap MK bisa membuat keadilan substantif. MK bisa mengadili berbagai kasus kecurangan pilkada yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
"Karena itu saya percaya, ketika MK membuka ruang keadilan substantif ini, mereka sadar betul mereka kebanjiran gugatan yang masuk, sebelum ada pembatasan ini. Kita harus mengakui gugatan yang masuk, indikator yang sangat bagus bahwa praktik di lapangan menyisakan banyak masalah," ujar Bambang.
Salah satu contoh pelanggaran yang masih marak adalah politik uang atau money politics di berbagai daerah. Bambang menilai MK perlu progresif dalam mengadili perkara-perkara terstruktur dan masif tersebut.
"Menurut pendapat saya, terkait masalah, MK tidak membatasi diri termasuk kasus yang ditangani Bawaslu. MK pernah membatalkan pasangan calon yang menang, tapi melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) kasus Pilkada Kotawaringin Barat," papar Bambang.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Sementara itu, anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menyatakan banyak varian kasus yang rumit di MK. Oleh sebab itu, MK perlu mengadili tidak hanya statistik angka hasil, tetapi juga sampai mengurai masalah yang ada. Seperti Keputusan Bawaslu menganulir Keputusan KPU soal pemenang pilkada setelah KPU menetapkan pemenang pilkada.
"MK hadir untuk meluruskan. Apakah ada benturan antara Bawaslu-KPU," ujar Titi.
Namun untuk dugaan money politics, butuh kerja ekstra dalam pembuktian. Demikian juga tentang politisasi bansos dan penyalahgunaan wewenang, seperti mutasi PNS oleh calon inkumben.
"Tidak mudah membuktikan money politics dan politisasi bansos," ujar Titi.
Sebagaimana diketahui, saat ini ada 135 perkara yang masuk ke MK terkait sengketa hasil Pilkada 2020. Dari jumlah itu, 7 perkara di antaranya terkait Pemilihan Gubernur. Salah satunya Pilgub Kalimantan Tengah (Kalteng). Di mana KPU Kalteng digugat oleh pasangan Ben Ibrahim-Ujang Iskandar.
Ben-Ujang tidak terima atas keputusan KPU Kalteng yang memutuskan pasangan pendapat suara terbanyak adalah Sugianto Sabran-Edy Pratowo dengan 536.128 suara. Sedangkan Ben-Ujang mendapatkan 502.800 suara.
Ben Ujang menilai KPU Kalteng tidak netral, seperti meningkatkan jumlah pemilih signifikan, penyalahgunaan struktur/birokrasi untuk mendukung salah satu calon, hingga money politics yang masif. Oleh sebab itu, Ben-Ujang meminta MK membatalkan Keputusan KPU Kalteng Nomor 075/PL02.6-Kpt/62/Prov/XII/2020, atau memutuskan digelar Pilkada ulang.