Ketukan palu hakim menandai putusan penjara 6 tahun untuk Andi Irfan Jaya. Putusan itu jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa, yaitu 2,5 tahun penjara, dalam perkara dugaan suap dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Andi Irfan Jaya terbukti berperan sebagai perantara suap dari Djoko Tjandra ke seorang jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari. Baik Pinangki maupun Djoko Tjandra masih menjalani persidangan dalam perkara yang sama, tetapi belum sampai agenda putusan.
"Menjatuhkan hukuman pidana hukum kepada terdakwa Andi Irfan Jaya dengan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, dengan ketentuan apabila tidak tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 4 bulan," ucap ketua majelis hakim Ignasius Eko Purwanto saat membacakan amar putusan dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (18/1) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Vonis yang lebih tinggi dari tuntutan itu dijatuhkan hakim lantaran Andi Irfan dianggap menutupi fakta yang ada. Keterangan Andi Irfan pun disebut berbelit-belit.
"Alasan pemberat perbuatan terdakwa membantu saksi Joko Soegiarto Tjandra menghindari pelaksanaan Putusan PK Nomor 12 tanggal 11 Juni 2009, dalam perkara cessie Bank Bali Rp 904 miliar yang saat ini belum dijalani. Terdakwa menyangkal atas perbuatannya dan menutup-nutupi keterlibatan pihak-pihak lain dalam perkara a quo," kata hakim Eko.
"Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam penyelenggaraan negara bersih bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, terdakwa berbelit-belit dan tidak mengakui kesalahannya," tambahnya.
Suap yang diterima Andi Irfan dari Djoko Tjandra diperuntukkan bagi Pinangki. Hakim meyakini suap itu untuk kepentingan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang direncanakan dalam 'action plan' demi kebebasan Djoko Tjandra, yang berjulukan Joker.
Di sisi lain, ada fakta lain yang disampaikan majelis hakim mengenai 'king maker'. Siapa dia?
Mengenai 'king maker' sebenarnya sudah muncul sebelum perkara ini dimejahijaukan. Saat itu istilah 'king maker' disampaikan Boyamin Saiman sebagai koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
"Salah satu yang mengejutkan dan ini adalah hal yang baru, yaitu ada penyebutan istilah 'king maker' dalam pembicaraan-pembicaraan itu antara PSM, ADK, dan JST juga," kata Boyamin kepada wartawan di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Rabu (16/9/2020).
PSM yang dimaksud adalah Pinangki Sirna Malasari. Sedangkan ADK adalah Anita Dewi Kolopaking dan JST adalah Joko Soegiarto Tjandra. Anita saat itu berperan sebagai kuasa hukum Djoko Tjandra.
Saat itu Boyamin hendak menyerahkan sejumlah bukti tambahan terkait perkara Djoko Tjandra ke KPK. Perkara ini sebelumnya ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) tetapi Boyamin berkeyakinan kasus ini akan lebih terbuka bila diusut KPK.
Perihal 'king maker' ini lantas terungkap dalam sidang. Majelis hakim yang mengadili Andi Irfan menyebut sosok 'king maker' memang ada, tetapi tidak terungkap terang dalam persidangan.
"Menimbang bahwa uraian action plan, kemudian ditemukan dalam data-data komunikasi chat dari aplikasi WA Dr Pinangki dengan Dr Anita Kolopaking pada nomor urut 756 tanggal 13 Februari 2020 dalam bentuk file action plan dalam format jpg. Menimbang bahwa dalam file action plan tersebut disebut sosok sebagai king maker, menimbang bahwa sosok king maker ditemukan dalam komunikasi chat menggunakan aplikasi WA antara nomor Dr Pinangki dengan Dr Anita Kolopaking, dan juga tertuang dalam BAP nama saksi Rahmat," kata hakim Eko dalam persidangan pada Senin, 18 Januari 2021.
Berdasarkan bukti elektronik menggunakan aplikasi WA yang di persidangan isinya dibenarkan saksi Pinangki, Anita Kolopaking, dan Rahmat, telah terbukti benar adanya sosok king maker tersebut," ucap hakim.
![]() |
Namun, menurut Eko, siapa sebenarnya 'king maker' itu tidak terungkap dalam persidangan. Karena itu, sosok tersebut sampai saat ini masih misterius.
"Menimbang bahwa majelis berupaya menggali siapa sosok king maker tersebut dengan menanyakan kepada saksi-saksi terkait, karena sosok tersebut disebut dalam chat yang diperbincangkan oleh saksi Pinangki pada pertemuan dengan Anita Kolopaking, Rahmat, dan saksi Joko Soegiarto Tjandra pada 19 November 2020 di Kuala Lumpur, namun tetap tidak terungkap dalam persidangan," kata hakim.