Perludem Dorong Ada Pilkada di 2022/2023, Ini Analisisnya

Perludem Dorong Ada Pilkada di 2022/2023, Ini Analisisnya

Matius Alfons - detikNews
Selasa, 12 Jan 2021 11:23 WIB
Titi Anggraini
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Perludem berpandangan pemilihan kepala daerah (pilkada) lebih baik diadakan pada 2022 atau 2023, bukan bersamaan dengan Pileg atau Pilpres pada 2024. Perludem beralasan ada sejumlah dampak yang bisa timbul jika Pilpres, Pileg, dan Pilkada dilaksanakan secara bersamaan pada 2024.

"Itu usulan kita jadi memang betul bahwa Perludem berpandangan bahwa Pilkada itu tidak tepat kalau dia harus diselenggarakan, kalau dia diselenggarakan seperti desain yang sekarang yaitu pada November 2024," kata anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini saat dihubungi, Selasa (12/1/2021).

Titi mengatakan akan ada dampak ekses politik yang berat bagi penyelenggara dan pemilih jika Pilkada disatukan dengan Pileg dan Pilpres pada November 2024 seperti tercantum pada Pasal 201 ayat 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Dia mengambil contoh seperti saat disatukannya Pilpres dan Pileg pada Pemilu 2019.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi akan ada irisan antara tahapan Pileg, Pilpres, dan pilkada, itu akan sangat berat, beban pemilihan itu akan sangat berat baik untuk, khususnya, penyelenggara dan untuk peserta dan pemilih, apalagi di 2019 dengan hanya Pileg-Pilpres aja ada 400 orang lebih petugas KPPS yang alami ekses kelelahan dan meninggal, tentu kita tidak menghendaki tragedi yang sama terjadi kan, tragedi yang sama terjadi," jelas Titi.

"Jadi akan ada beban teknis pemilihan yang sangat berat bagi penyelenggara terutama, dan juga peserta dan pemilih karena parpol kan di saat bersamaan mereka harus melakukan konsolidasi politik untuk kerja-kerja pemenangan Pemilu Presiden, Legislatif, dan Pilkada kan," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Simak analisis Perludem lainnya di halaman berikutnya.

Titi juga menilai isu Pilkada akan tenggelam jika disatukan dengan Pilpres dan Pileg pada 2024. Maka, kata dia, hal ini bisa berdampak pada salah pilih pimpinan daerah hingga tindakan-tindakan ilegal seperti politik uang, politik SARA, hingga politik identitas.

"Pileg dan Pilkada akan sangat mungkin tenggelam dengan Pemilu Presiden, akibatnya, karena isu terlalu banyak dan Pemilu Presiden terlalu dominan, pemilih tidak dapat cukup bekal untuk dapat keputusan dalam Pemilihan Legislatif dan Pilkada, ini akhirnya bisa membuat pemilih tidak menggunakan hak pilihnya sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, yakni berdasarkan visi, misi, dan program, atau berdasarkan politik gagasan, dan ini karena persaingan yang ketat bisa memicu tindakan-tindakan ilegal dari praktik pemilihan, yaitu digunakannya politik uang, politisasi SARA, dan juga politik identitas," ujar Titi.

Tak hanya itu, Titi juga menyebut ada kemungkinan fokus masyarakat akan tersedot pada Pilpres jika semuanya dilakukan beririsan sehingga nantinya ini bisa berdampak pada tingginya suara tidak sah pada Pileg dan Pilkada.

"Yang juga jadi pelajaran dari Pemilu 2019 karena Pileg-Pilpres, tetapi membuat fokus konsentrasi semua tersedot ke Pemilu Presiden akhirnya membuat suara tidak sah DPR dan DPD jadi sangat besar, atau invalid vote atau suara tidak sah, DPD itu bahkan sampai 27 juta atau setara 19 persen, DPR sampai 17 juta atau setara dengan 13 persen, itu angka yang sangat tinggi sekali dan itu ditengarai karena konsentrasi pemilih terlalu besar ke Pilpres," imbuhnya.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads