Setengah abad lalu, Museum Prasasti Jakarta adalah kompleks kuburan besar bernama Kerkhof Laan atau Permakaman Kebon Jahe Kober. Kini kuburan sudah berganti menjadi museum. Pihak museum mencoba mengusir 'yang serem-serem'.
Saat detikcom mengunjungi Museum Prasasti, Selasa (15/12/2020), kesan pertama yang tertangkap adalah tenang, bersih, dan murah. Cuma butuh Rp 5.000 saja untuk masuk museum ini.
![]() |
Tempat terbuka di pusat kota metropolitan ini cenderung sunyi di hari biasa. Terik matahari tidak terlalu menyengat. Anda bisa saja membuka buku dan mulai menyelesaikan satu judul novel seharian bila cuaca tidak hujan. 'Yang serem-serem' sudah diusir jauh oleh pihak museum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tidak mau orang berpikir seram soal tempat ini," kata pemandu wisata Museum Prasasti, Eko Wahyudi (Yudi), kepada detikcom.
![]() |
'Yang serem-serem' adalah kesan horor yang membuat orang tidak berpikir logis. Ini bukan kuburan lagi, tapi museum, meski banyak sisa makam di sini. Jurus mengusir 'yang serem-serem' itu dengan cara meminimalkan kegiatan ritual di area ini. Kegiatan ritual mampu mengundang stereotipe sosial bahwa tempat ini angker atau tempat itu banyak hantunya.
"Umpamanya ada orang yang taruh bunga di sini dan di situ, itu nanti mengundang stigma-stigma. Kita tidak ingin itu terjadi," kata Yudi.
Tonton video 'Melihat Kemegahan Rancangan Museum Rasulullah SAW':
Selanjutnya, cerita Yudi yang kerap memergoki sisa-sisa dupa dan kemenyan di batu nisan tertentu:
Delapan orang yang bertugas setiap hari di sini siap sedia untuk membersihkan bunga atau dupa yang kadang ditinggalkan pengunjung.
"Saya pernah memergoki. Tahu-tahu ada dupa aja, langsung kita bersihkan. Jangan sampai ada orang datang lagi kemudian melihat dupa itu dan menganggap tempat tertentu sebagai tempat seram," tutur Yudi.
Yudi tidak menutupi kadang ada saja orang yang bandel menyalakan dupa di lokasi tertentu. "Ya di itu, makam Kapten Jas atau Olivia (istri Raffles). Kadang-kadang orang iseng taruh di atas, ada menyan. Langsung kita bersihkan," tuturnya.
Yudi sudah 17 tahun bekerja di Museum Prasasti ini. Dia tahu betul tiap sudut nisan dan patung di sini. Dia mengaku tidak pernah melihat hantu di sini.
"Tidak. Kita memang tidak membiasakan orang untuk datang ke sini dengan maksud untuk berhubungan dengan yang horor," kata Yudi.
![]() |
Saya melanjutkan langkah menyusuri Museum Prasasti ini. Melewati 'lonceng kematian' di bagian depan museum, pengunjung akan 'disambut' patung perempuan menangis (Crying Lady) yang legendaris. Keberadaan patung ini semakin dramatis karena kebetulan saja ada kelopak-kelopak bunga yang jatuh di atasnya saat saya datang.
Patung ini adalah karya seniman dari Italia. Nama pembuat dan tahunnya terukir di sudut patung, 'SCVLP Carminati Milano, (1)907 Italia'. Pembuatnya dikatakan meninggal dunia dua tahun setelah patung marmer ini rampung dipahat.
"Ini ada legenda, bukan sejarah, zaman dulu kala ada seorang istri yang baru beberapa bulan menikah, tiba-tiba suaminya meninggal dunia karena malaria. Perempuan itu tidak kuat menahan kesedihan, lalu memutuskan bunuh diri," kata Yudi.
![]() |
Ada banyak patung dekoratif di sini, misalnya patung-patung marmer berbentuk malaikat kecil bersayap, patung anak kecil yang kadang sudah rusak patah lengan atau lehernya, patung perempuan menangis, hingga patung bersejarah ada di sudut-sudut Museum.
Di bagian kiri, ada makam Kapten Jas yang legendaris. Makam Kapten Jas ini adalah satu-satunya makam yang masih terdapat jasad di dalamnya. Nisan-nisan yang lain di Museum Prasasti ini sudah tinggal nisannya saja, alias tanpa jasad manusia di bawahnya. Jasad-jasad manusia kebanyakan sudah dievakuasi pada 1975, era Gubernur Ali Sadikin, sebelum museum ini diresmikan tahun 1977.
![]() |
Tidak jauh dari makam Kapten Jas, ada makam Olivia Mariamne, istri Thomas Stamford Raffles, tokoh penjajah Inggris di masa lalu Indonesia. Selain itu, banyak lagi nisan dan monumen di sini. Replika monumen Pieter Erberveld berdiri di bagian tengah, dengan sebentuk tengkorak tiruan di atas monumen tersebut.
Di sini juga ada kereta jenazah asli dari zaman Belanda. Kereta dengan lemari kaca yang menyimpan peti mati hitam ini diparkir di pendapa, diapit dua kereta kuda dari Kirab Keraton tahun 2013. Ada pula dua peti mati dari Bung Karno dan Bung Hatta.
Suasana siang jelang sore kala pandemi COVID-19 ini relatif sepi. Namun sepi tidak selalu seram mencekam, tapi menenangkan.