Rabu 25 November 2020 menjadi hari paling menegangkan dalam hidup saya. Dagdigdug menunggu hasil swab. Email dari rumah sakit masuk pada pukul 08.26 WIB. Hasilnya, saya positif. Saya harus 'staycation' di RS.
Deg-degan, kaget, dan bingung campur-baur. Hati berkecamuk. Bagaimana tidak, saya yang paling cerewet soal prokes di keluarga, justru positif COVID-19 dengan gejala batuk serta sesak napas. Ditambah lagi anak, istri serta ibu mertua, juga positif Corona. Makin lengkaplah kegamangan saya. Untungnya, keluarga saya masuk kategori orang tanpa gejala (OTG), jadi dirawat di tempat lain.
Pukul 11.30 WIB, dengan diantar istri, saya sampai di salah satu RS di Jakarta dengan kondisi sudah kepayahan. Setelah mengisi form pendaftaran dan tetek bengek administrasi, saya menunggu di ruang ICU. Kok sepi, pikir saya, katanya yang kena corona banyak. Ternyata tebakan saya jauh meleset. Tak lama saya menunggu, mulai berdatangan orang-orang yang gejalanya mirip saya, batuk-batuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ruang ICU berubah menjadi penuh sampai 3 baris dalam waktu singkat. Dalam hati, waduh, udah kaya antre sembako aja! Para calon pasien bervariasi jenisnya. Ada bapak-bapak, anak muda, ibu-ibu sampai om-om. Corona tak pandang bulu, mau bulu tua, bulu muda, semua dihajarnya.
Baca juga: Pengalaman Terinfeksi Covid-19 |
Di ruang ICU, pikiran saya melanglang ke mana-mana. Termasuk soal dari mana saya terinfeksi virus corona, musuh tak kasat mata. Sebelumnya saya memang sempat bepergian ke luar kota. Tapi entah di mana 'serangan' virus itu terjadi.
Setelah berjam-jam di ICU, malam harinya saya diantar ke kamar perawatan. Ruangan terletak di lantai 9. Say goodbye ke istri untuk sementara waktu. Wah bakal sepi nih, namanya juga diisolasi. Eh ternyata salah, saya seruangan dengan 3 pasien.
Simak video 'Frustrasi Pandemi Corona, Masyarakat Alami Pandemic Fatigue':
Selanjutnya, di kasur perawatan:
Di kasur perawatan, dimulailah 'penyiksaan' itu. Tangan kanan diinfus, hidung dipasang oksigen lalu obat-obatan juga diberikan. Terganggu? Jelas. Sakit? Nggak usah ditanya. Tapi yang jelas ini memang harus dilakukan kalau mau sembuh. It's for your own good.
Di hari pertama, saya tidur tak lama usai masuk ruangan. Mungkin karena capek setengah hari menunggu di ICU.
Hari kedua, pagi-pagi pasien diberi sarapan. Menunya standar: nasi, sayur, dan buah. Alhamdulillah, indra perasa saya tidak hilang. Nafsu makan masih ada. Tepatnya saya 'paksa' untuk selalu ada. Ini penting. Karena saat sakit COVID-19, kita harus mengkonsumsi makanan yang bergizi agar imun meningkat.
![]() |
Setiap makanan RS datang, saya selalu semangat menghabiskan. Sembuh, sembuh, sembuh, pikir saya sambil lahap 'menghajar' makanan RS yang sudah tersohor 'tidak enak' tapi bergizi tinggi. Oh iya, ada juga lauk yang enak banget, ayam kecap.....tapi kulitnya ga ada! Wahh, kompilasi eh konspirasi ini kayaknya.
Seminggu di RS dengan asupan makanan bergizi dan obat-obatan membuat imun terasa meningkat. Harapan untuk sembuh mulai muncul. Eh, saluran infus justru malah ditukar ke tangan kiri karena takut infeksi kelamaan di tangan kanan. Yah, hitung-hitung nambah 'oleh-oleh' bekas infus dari Corona, lah. Belum lagi selang oksigen yang belum dilepas juga. Bukan apa-apa, sebenarnya oksigen itu sangat melegakan tapi hidung jadi penuh dengan kotoran, jadi ya....mengupil adalah jalan ninjaku!
Kepedulian sesama pasien di ruangan saya ternyata cukup tinggi, mungkin karena merasa senasib dan sependeritaan. Beberapa hari sebelum keluar RS, pasien di depan saya membagi-bagikan dimsum. Lumayan 'penyegaran' bagi saya yang melahap makanan RS terus. Besoknya pasien sebelah memberikan salah satu ayam goreng terkenal khas indonesia. Waduh, kenapa nggak dari awal aja ngasihnya! Oh iya, jadi teringat juga janji atasan kalau sudah sembuh mau traktir, moga-moga masih ingat dan baca.
Selanjutnya, hasil negatif COVID-19:
Saya di-swab ulang pada Kamis, 3 Desember atau setelah 8 hari berada di RS. Hasilnya keluar tiga hari kemudian. Alhamdulillah, saya negatif. Tapi saya belum lega, soalnya belum ada penjelasan resmi dari tim medis. Pada Senin 7 Desember, dokter baru mengizinkan saya keluar rumah sakit. Malam hari, saya berkemas dan pulang sendiri menyusul dua pasien seruangan saya yang sudah pulang 1-2 hari sebelumnya. Biaya perawatan nol rupiah!
Selama 13 hari di RS, selain hal-hal berkaitan dengan faktor medis, salah satu yang paling berkesan adalah momen ke WC. Inilah saat 'paling serba salah' di mana infus di kanan dan selang oksigen di hidung namun panggilan alam memaksa kita untuk membersihkan diri. Untuk mengakalinya mau tak mau saya harus lepaskan selang oksigen dan botol infus saya bawa. Untung ada gantungan di kamar mandi, kalau ga ada, silakan bayangkan sendiri tapi jangan sambil makan ya...
Banyak faktor yang bisa meningkatkan proses penyembuhan. Dukungan keluarga salah satunya yang saya rasakan. Waktu awal masuk RS saat saya gamang, tiba-tiba perawat mengantarkan sebuket bunga. Penasaran saya periksa dari siapa, ternyata pengirimnya istri saya sendiri, soooo sweetttt! Habis sembuh saya punya banyak 'utang' nih sama istri.
![]() |
Doa juga berpengaruh pada kesembuhan. Karena dengan berdoa berarti kita berpikir bahwa kita yakin akan sembuh. Untuk berpikir sembuh berarti harus berpikir positif seperti gimana cicilan kendaraan, gimana bayaran anak sekolah, gimana cicilan rumah dan sejenisnya. Dah-lah, itu pengalaman paling nggak enak dalam hidup!