Kritikan Terbilang Usai MA Bikin Aturan Larang Foto-Rekam di Sidang

Round-Up

Kritikan Terbilang Usai MA Bikin Aturan Larang Foto-Rekam di Sidang

Tim detikcom - detikNews
Senin, 21 Des 2020 07:44 WIB
Gedung Mahkamah Agung
Gedung MA (Foto: Ari Saputra)
Jakarta -

Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 yang melarang pengunjung sidang untuk memfoto dan memvideokan jalannya persidangan. Aturan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak. MA pun juga sudah memberikan penjelasan soal aturan ini.

Kritik pertama datang dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa. Dia mengkritik Perma Nomor 5 Tahun 2020, bahkan Desmond menyebut MA sudah menjadi sarang mafia.

"Tidak boleh merekam dan macam-macam ini kan ada pertanyaan, kalau pertanyaan ini kita kaitkan dengan keputusan terakhir Mahkamah Agung yang orang berikan mobil dianggap dermawan, ya saya melihat bahwa Mahkamah Agung dan peradilan ini bukan lembaga hukum lagi, ini udah sarang mafia," kata Desmond saat dihubungi, Sabtu (19/12/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Politikus Gerindra itu juga menilai aturan MA soal izin merekam dan mendokumentasikan persidangan itu sebagai langkah tidak transparan. Menurutnya, jika itu terjadi, negara ini bukan lagi negara hukum.

"Segala sesuatu yang tidak transparan, tujuannya merekam itu kan memberitakan. Kalau itu kan suka-suka aja walaupun keputusan hakim itu pertanggungjawaban dia dengan Tuhan, itu kan asas pengadilannya sudah ada. Tapi kalau pengadilannya tidak bisa terbuka, orang tidak bisa menilai adil atau tidak secara terbuka. Saya pikir peradilannya sudah peradilan di zaman negara kekuasaan, bukan negara hukum lagi," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Lebih lanjut Desmond menekankan, lembaga peradilan seharusnya terbuka. Menurut Desmond, sikap MA yang menjadi tertutup tersebut menimbulkan pertanyaan.

"Ini kan salah satu yang penting bahwa pengadilan itu harus terbuka, ya kalau pengadilannya tertutup, tidak boleh merekam dan macam macam, ini kan ada pertanyaan," ujarnya.

Desmond mempersilakan aturan tertutup tersebut diterapkan jika dalam pengadilan anak atau terkait kasus pemerkosaan. Namun dia mempertanyakan jika itu juga diterapkan di peradilan umum.

"Merekam dan semua nggak boleh lagi berarti kan ini sidangnya tertutup, sidang tertutup ini kan bicara tentang peradilan anak, yang bicara soal perempuan pemerkosaan dan macam-macam. Tapi kalau peradilan umum biasa itu tertutup, saya pikir ya lembaga peradilan udah bubarkan aja. Jangan berharap lagi ada keadilan di republik ini," ucap Desmond.

Kritik juga datang dari Pakar Hukum Universitas Muria Kudus, Yusuf Istanto. Yusuf menyebut peraturan ini menurunkan kepercayaan publik karena terkesan ada oknum yang nakal yang dilindungi.

"Jadi kemudian tidak menjadi larangan misalnya pers untuk meliput proses persidangan, atau membatasi di awal persidangan. Memang harusnya kalangan pers ataupun para pihak berkepentingan misalkan penggugat atau terdakwa, seharusnya diizinkan untuk membuat rekaman, misalkan kita lawyer punya kepentingan untuk mendokumentasikan proses persidangan itu lho," kata Dosen Hukum di Universitas Muria Kudus, Yusuf Istanto saat dihubungi detikcom via telepon, Minggu (20/12).

"Artinya tidak memungkiri pengadilan kita itu bersih-bersih amat. Ada oknum-oknum yang pengadilan hakim kemudian mereka nakal. Itu sangat merugikan pencari keadilan," sambungnya.

Yusuf pun menyebut aturan itu seharusnya tidak berlaku untuk pers maupun pengacara. Sebab, perekaman jalannya sidang juga diperlukan untuk memudahkan pengacara menyiapkan materi untuk membela kliennya.

"Misalkan pengunjung bisa saja dilarang. Pihak atau media, pengacara diperbolehkan, ada pengecualian. Kemudian dibatasi di awal seakan kesusahan juga. Pihak penasihat hukum membuat resume dari awal sampai peristiwa peradilan hanya catat susah," sambung Yusuf.

Di sisi lain, peraturan itu mengurangi kepercayaan kepada lembaga peradilan. Sebab, masyarakat seolah dibatasi mencari keadilan di persidangan.

"Melihat perma ini sudah diputuskan, memang menurunkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan, karena apa seolah-olah masyarakat tidak bisa merekam proses mereka mencari keadilan. Dia hanya bisa catat tidak bisa dokumentasi," jelas dia.

Tak hanya itu, Partai Demokrat juga memberikan sikapnya terkait Perma Nomor 5 Tahun 2020 itu. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat (PD), Didik Mukrianto meminta aturan yang dibuat tak mempersulit hak masyarakat untuk mengakses informasi persidangan yang sifatnya terbuka.

"Saya dapat memahami perlu pengaturan yang proper dan proporsional termasuk melalui Peraturan Mahkaman Agung. Namun harus kita pastikan bahwa pengaturan itu bukan ditujukan untuk mempersulit dan mengurangi hak-hak masyarakat untuk mengakses dan mendapatkan informasi dari persidangan yang sifatnya terbuka untuk umum," kata Didik kepada wartawan, Minggu (20/12).

Didik memahami pentingnya peraturan untuk menjaga agar tidak ada gangguan dalam persidangan dan untuk memastikan marwah pengadilan serta penghormatan terhadap jalannya persidangan tetap terjaga. Namun, dia tidak setuju jika aturan yang diterbitkan untuk membatasi hak-hak publik.

"Namun apabila pengaturan itu ditujukan untuk mempersulit dan membatasi hak-hak publik termasuk pers, tentu saya sangat tidak setuju," ujarnya.

Kendati demikian, Didik menerima penjelasan MA yang menegaskan aturan tersebut bukan untuk membatasi transparansi. Dia pun memastikan akan mengawasi komitmen MA tersebut.

"Kita pantau dan awasi serta kita pastikan komitmen itu bisa dijalankan. Kalaupun ada pengaturan yang basis administrasinya harus dipenuhi, kita pastikan jangan menjadi alat legitimasi dan dasar untuk bagi hakim untuk mengambil kebijakan dan membatasi apalagi melarang masyarakat untuk menghadiri persidangan yang sifatnya terbuka untuk umum," tutur Didik.

Politikus Demokrat itu juga meminta MA untuk adaptif dan responsif dalam mendengar masukan publik. Menurutnya, MA harus terus melakukan reformasi kelembagaan.

"Sebagai bagian upaya Mahkamah Agung dalam mewujudkan peradilan yang agung, maka Mahkamah Agung harus terus adaptif, responsiif dalam mendengar masukan publik. Mahkamah Agung harus terus melakukan reformasi kelembagaan dan khususnya SDM, serta menguatkan zona integritas di lingkungannya agar mampu merepresentasikan pengelolaan kelembagaan dengan basis good and clean governance yang terbebas dari korupsi," kata dia.

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro angkat suara atas banyaknya sorotan terhadap Perma Nomor 5 Tahun 2020 itu. MA menyebut aturan tersebut tidak membatasi transparansi.

"Sama sekali bukan membuat aturan yang membatasi transparansi," ujar kata juru bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro saat dihubungi Minggu (20/12).

Andi mengatakan, aturan ini agar seluruh pihak dapat merasa aman saat di persidangan. Menurutnya, larangan ini akan mewujudkan peradilan yang berwibawa.

"Jadi filosofinya pada faktor keamanan, semua pihak merasa aman berada di ruang sidang atau pengadilan dan persidangan yang lancar, tertib dan aman, akan mewujudkan peradilan yang berwibawa," kata Andi.

Andi kembali menyebutkan, aturan tersebut bukan merupakan larangan bagi peliputan. Melainkan untuk mengatur ketertiban dan kelancaran sidang.

"Sama sekali bukan untuk melarang peliputan dan pengambilan foto. Kalau diatur demikian untuk tertib dan lancarnya persidangan apakah itu salah," tuturnya.

Halaman 2 dari 3
(fas/dkp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads