Jaksa penuntut umum membacakan tanggapan pleidoi atau nota pembelaan (replik) Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dalam kasus surat jalan palsu. Dalam repliknya, jaksa meminta majelis hakim menolak pleidoi Djoko Tjandra.
"Kami penuntut umum dalam replik kali ini memohon agar majelis hakim menolak pembelaan yang dilakukan oleh tim penasihat hukum dan terdakwa," ujar jaksa Yeni Trimulyani dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Selasa (15/12/2020).
Jaksa mengatakan pihaknya tidak sependapat dengan nota keberatan Djoko Tjandra. Menurut jaksa, dalil pembelaan yang disampaikan hanya berdasarkan keterangan terdakwa, bukan fakta persidangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami penuntut umum tidak sependapat dengan nota keberatan yang diajukan kuasa hukum terdakwa. Bahwa dalil-dalil yang disampaikan penasihat hukum semata-mata hanya berdasarkan keterangan terdakwa semata," kata Yeni.
Jaksa menilai aneh bila Djoko Tjandra mengaku tidak terlibat dalam rangkaian kasus surat jalan palsu sehingga jaksa menyebut pihaknya tetap pada tuntutan yang telah disampaikan.
"Bahwa dalam uraian kami, maka akan sangat aneh kalau rangkaian peristiwa tersebut hanya kebetulan saja dan tidak ada kaitannya dengan peran serta terdakwa. Oleh karena itu, apakah kita mau menutup mata dan mengesampingkan fakta," kata Yeni.
"Dengan demikian, penuntut umum tetap pada surat tuntutan yang sudah kami sampaikan dalam persidangan sebelumnya," sambungnya.
Djoko Tjandra dituntut dua tahun penjara oleh jaksa penuntut umum. Eks buron kasus cessie Bank Bali itu dinilai terbukti memalsukan surat.
Simak di halaman berikutnya.
Sebelumnya, terdakwa kasus surat jalan palsu, Djoko Tjandra, membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Djoko Tjandra berharap bebas dari tuntutan jaksa.
Ia mengaku kasus yang menjeratnya ini makin membuatnya terpuruk, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Ia menyebut persoalan hukum yang dihadapinya ini sangat membebaninya secara psikologis, terlebih dia sudah berusia lanjut.
"Sejujurnya saya harus mengakui bahwa dengan perkara ini saya merasa seperti orang yang sudah jatuh dan ditimpa tangga pula. Ini menjadi titik nadir penderitaan saya sebagai warga negara Indonesia yang telah jadi korban miscarriage of justice, korban ketidakadilan, dan korban pelanggaran HAM di negara hukum republik Indonesia yang saya cintai ini. Saya juga harus mengakui bahwa dampak buruk dari permasalahan hukum ini sangat signifikan, terutama bagi saya yang saat ini masih mempunyai tanggungan atas kelangsungan hidup keluarga saya. Ketidakadilan dalam permasalahan hukum ini sangat membebani saya dan keluarga secara psikologis," bebernya.
Dalam perkara ini, Djoko Tjandra dituntut hukuman 2 tahun penjara. Jaksa menyakini Djoko Tjandra bersalah karena menginisiasi pembuatan surat jalan hingga surat keterangan bebas COVID palsu.
"Kami jaksa penuntut umum dengan memperhatikan ketentuan UU yang bersangkutan, menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang mengadili perkara ini memutuskan menyatakan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Soegiarto alias Joecan bin Tjandra Kusuma telah terbukti melalukan tindak pidana menyuruh melakukan pemalsuan surat secara berlanjut," kata jaksa Yeni saat membacakan amar putusan di PN Jaktim, Cakung, Jakarta Timur, Jumat (4/12).
"Menjatuhkan hukuman pidana hukum kepada Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Soegiarto alias Joecan bin Tjandra Kusuma dengan pidana 2 tahun penjara," imbuhnya.
Jaksa menilai Djoko Tjandra terbukti melanggar Pasal 263 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 263 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.