Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Owen Jenkins, mengatakan kebebasan pers dalam konteks global semakin mendapatkan serangan. Dia mengungkapkan jumlah jurnalis yang meninggal dunia dalam beberapa tahun terakhir.
"Jika berbicara mengenai kebebasan pers secara global, isu ini semakin mendapatkan serangan. Berdasarkan catatan UNESCO, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 900 jurnalis telah tewas dan sembilan dari sepuluh pembunuhan terhadap jurnalis, pelakunya tidak dihukum. Ini adalah statistik yang mengerikan," ujar Owen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Owen mengatakan saat ini banyak negara yang menggunakan peraturan lebih ketat untuk membungkam kebebasan berekspresi.
"Kebebasan pers bukan saja sekadar komponen esensial dari demokrasi yang berfungsi dengan baik. Ini adalah dasar untuk kemakmuran ekonomi, dan pembangunan sosial. Ketika kita bisa berdebat gagasan, tanpa takut akan adanya ancaman, kita bisa melihat kreativitas dan keaslian dari seluruh masyarakat," lanjutnya.
Owen mengatakan pandemi COVID-19 ini telah memperburuk ancaman terhadap media. Dia menyebut kondisi ini sudah mengkhawatirkan.
"Kita harus menentang semua upaya, oleh negara mana pun, untuk menggunakan pandemi ini sebagai alasan untuk membatasi kebebasan pers, membungkam perdebatan, menyalahgunakan tugas jurnalis, atau menyebarkan informasi yang salah," tutur Owen.
Dalam kesempatan yang sama, staf ahli Menkominfo, Henry Subiakto, mengatakan pemerintah pada dasarnya setuju mengenai kebebasan pers. Dia juga menegaskan tak ada kebijakan pemerintah yang membatasi kebebasan pers.
"Persoalannya pada saat pandemi penggunaan medsos meningkat secara signifikan, bahkan ada penggunaan Zoom meningkat 400 persen. Masyarakat Indonesia sangat menyukai medsos, tapi di sana banyak sekali info-info yang belum tentu benar. Banyak kasus yang masyarakat tidak percaya dengan dokter, dan pemerintah. Ini dinamakan infodemic," tutur dia.
Henry mengatakan dunia saat ini bukan hanya menghadapi pandemi tapi juga infodemic. Banyak masyarakat, kata Henry, yang masih percaya COVID-19 itu tidak ada.
"Saat ini hoax tentang vaksin sudah banyak, vaksin dinilai haram, padahal saat ini masih proses persetujuan MUI. Banyak hal beredar mengenai vaksin yang salah. Pers menjadi andalan meluruskan hoax. Pers saat ini sudah sejak lama menuju freedom of speech. Tantangannya saat ini adalah media sosial yang saat ini sering kali menyebarkan berita hoax. Media saat ini sedang survive sekaligus menjadi pencerah untuk publik saat pandemi. Saat ini banyak media yang mengikuti keinginan publik agar tetap banyak penggunanya," imbuh dia.
(knv/knv)