Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan putusan peninjauan kembali (PK) yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) terhadap Fahmi Darmawansyah. ICW menyebut pengurangan hukuman ke Fahmi tidak masuk akal.
"Dalam putusan PK tersebut, hukuman terpidana kasus korupsi itu dikurangi dari 3 tahun 6 bulan menjadi 1 tahun 6 bulan penjara. Putusan ini sangat tidak masuk akal," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Jumat (11/12/2020).
Selain terkait pengurangan hukuman, Kurnia mempertanyakan argumentasi yang dijadikan dasar permohonan PK itu diterima oleh Mahkamah Agung. Setidaknya, kata dia, ada dua argumentasi yang tidak logis disampaikan dalam putusan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama, pada halaman 18, majelis hakim menyebutkan bahwa warga binaan lainnya menikmati fasilitas yang sama di dalam lapas sehingga putusan yang dijatuhkan terhadap terpidana bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama atau diskriminasi dalam due process of law," katanya.
"Pertimbangan ini janggal. Penting untuk diketahui publik bahwa KPK melakukan serangkaian upaya penindakan berdasarkan adanya laporan masyarakat. Jika laporan masyarakat tersebut berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Fahmi Darmawansyah, bagaimana mungkin KPK dapat menindak pihak lain? Lagi pula KPK bertindak melandaskan pada kecukupan alat bukti, tidak secara gebyah uyah begitu saja menindak pihak lain, yang mungkin alat buktinya juga belum cukup," sambungnya.
Kedua, lanjut Kurnia, pada halaman 19, majelis hakim menyebutkan bahwa pemberian mobil Mitsubishi Triton yang dimintakan oleh Kalapas Sukamiskin Wahid Husen bukan dikehendaki atas niat jahat Fahmi Darmawansyah, melainkan karena sifat kedermawanannya. Dia menilai titik fatal pertimbangan putusan ada pada poin ini.
"Bagaimana mungkin pemberian barang terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dilakukan oleh warga binaan dianggap sebagai sifat kedermawanan? Tindakan tersebut secara terang benderang merupakan tindak pidana suap atau setidak-tidaknya dikategorikan sebagai gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," katanya.
Dia menyebut ICW sejak awal tidak menaruh kepercayaan pada institusi peradilan dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kesimpulan ini berangkat dari temuan ICW dalam tren vonis semester pertama 2020.
"Dalam temuan itu, rata-rata vonis pelaku korupsi dari Sabang sampai Merauke hanya berkisar 3 tahun penjara. Ditambah lagi dengan gap kerugian keuangan negara dengan uang pengganti yang terpaut sangat jauh," katanya.
Menurut Kurnia, kerugian negara sepanjang semester pertama 2020 mencapai Rp 39,2 triliun, sedangkan uang pengganti hanya Rp 2,3 triliun. Selain itu, kata dia, mayoritas terdakwa juga diganjar dengan vonis ringan.
"Bayangkan, dari 1.043 terdakwa yang disidangkan, 796 di antaranya divonis di bawah 4 tahun penjara. Jadi salah satu problem pemberian efek jera ada pada vonis hakim itu sendiri," ucapnya.
Untuk itu, ICW mendesak agar MA dapat menjelaskan logika di balik putusan PK ini. Jika tidak, putusan ini, disebutnya, akan mencoreng rasa keadilan di tengah masyarakat dan semakin menurunkan derajat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan itu sendiri.
Bagaimana keputusan MA yang dipertanyakan ICW? Simak berita selengkapnya